PERANAN
NAHDLATUL ULAMA’ DARI MASA KE MASA
Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama 2 ( ASWAJA )
Dosen Pengampu : Pak Nur Rohman, S.Pd., M.Si.
Oleh :
1. Nor Isma (
151120001640 )
2. Sinox Tri Hidayati (
151120001642 )
3. Sri Wahyuni Almunawaroh (
151120001652 )
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLADUL ULAMA’
JEPARA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan berkat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini guna melengkapi tugas Mata Kuliah Agama
2 ( Aswaja ) di Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ ( UNISNU ) Jepara.
Makalah ini berisi materi tentang “Peranan Nahdlatul
Ulama Dari Masa Ke Masa”. Yang akan menjabarkan tentang peranan NU masa
penjajahan, kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, orde baru, orde lama,
reformasi dan pasca reformasi.
Kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca guna mendapatkan
wawasan dan pengetahuan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami
menyadari masih banyak kekurangan, Oleh karena itu penulis
berharap kritikan, saran, dan masukan yang dapat membangun dari pembaca guna
penyempurnaannya makalah menjadi lebih baik.
Demikian makalah yang kami buat,
kami ucapkan terima kasih.
Jepara,
23 Mei 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama’ yang
berarti (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) disingkat NU adalah
sebuah organisasi Islam besar di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan,
sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Peranan NU sangatlah penting dalam
kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Seperti semangat kebangkitan bangsa
Indonesia terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
munculah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang
selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut
dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Nahdlatul Fikri
(kebangkitan pemikiran) sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama NU
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
B. Rumusan Pembahasan
1. Bagaimana peranan NU pada masa penjajahan ?
2. Bagaimana peranan NU pada masa kemerdekaan ?
3. Bagaimana peranan NU mempertahankan kemerdekaan ?
4. Bagaimana peranan NU pada masa orde lama ?
5. Bagaimana peranan NU pada masa orde baru ?
6. Bagaimana peranan NU pada masa reformasi ?
7. Bagaimana peranan NU pada masa paska reformasi ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui peranan NU pada masa penjajahan
2. Untuk mengetahui peranan NU pada masa kemerdekaan
3. Untuk mengetahui peranan NU mempertahankan kemerdekaan
4. Untuk mengetahui peranan NU pada masa orde lama
5. Untuk mengetahui peranan NU pada masa orde baru
6. Untuk mengetahui peranan NU pada masa reformasi
7. Untuk mengetahui peranan NU pada masa pasca reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Peranan
NU Pada Masa Penjajahan
Nahdlatul
Ulama dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman, juga didasari nilai-nilai
ke-Indonesiaan dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda
dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun
1936. Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar
al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa bangsa.
Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak
menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak
mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan
syariat agamanya dengan bebas.
Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul
Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada
saat tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid
Hasyim. Ide mendirikan MIAI tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan
Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab
baik dilihat dari sudut historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi
besar, tidak pernah lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.MIAI pada dasarnya
bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan
muatan politik. MIAI berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, melalui
pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung
terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak, bahkan masalah internasional.
Tuntutan tersebut antara lain : Indonesia berparlemen, persoalan Palestina dan
mencabut Guru Ordonantie tahun 1925.
Pada masa penjajahan Belanda
sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non coorporation (tidak mau kerjasama) dengan belanda. Untuk
menanamkan rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau belandasehingga semakin
menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan. Hal ini terlihat ketika
Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa belanda).
B.
Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 7 September 1944Jepang mengalami kekalahan
perangAsia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikankemerdekaan bagi
Indonesia. Untukitu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62orang yang diantaranya adalah
tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar danbentuk Negara.
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926
berdasarkan semangat kebangkitan nasional memegang peranan
penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan
Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara
tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan
RI yaitu 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan
September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali.
Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan
melawan para penjajah terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah
sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan
Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil Administration)
telah menguasai Medan, Padang, Palembang, Bandung dan semarang, sedangkan
kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh Australia.Pembesar NU dan
anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan Inggris.
Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000
orang yang terdiri dari jajahan India.NU juga mendeklarasikan perang suci
berjihad melawan penjajah bersama masyarakat lainnya.''Ribuan kiai dan santri
NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober
1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.Mereka
mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara
lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs
(1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban
perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh
masyarakat Islam membentuk laskar perang.Para sejarahwan mengakui bahwa
pengaruh resolusi jihad.
C.
Peranan NU Mempertahankan
Kemerdekaan
Pada saat itu, Nahdlatul Ulama
mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Resolusi
Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Adapun isi
resolusi jihad tersebut adalah :
1.
Kemerdekaan RI
yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
2.
Republik
Indonesia sebagai satu – satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.
3.
Umat Islam
Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan
penjajah Belanda dan kawan – kawannya yang hendak menjajah Indonesia kembali.
4.
Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban Umat Islam.
Resolusi
jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada
tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, terjadi sebuah pemberontakan massal, yang
di dalamnya terdapat banyak pengikut Nahdlatul Ulama ikut terlibat aktif, di
bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Hari
Pahlawan.
Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut,
terbentuklah organisasi-organisasi perlawanan terhadap Belanda, antara lain
Hizbullah di bawah pimpinan KH. Zainul Arifin dan Sabilillah di bawah pimpinan
KH. Masjkur.
Resolusi jihad yang dikeluarkan
oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember
1945 di Surabaya dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan tersebut terbentuklah organisasi – organisasi
perlawanan terhadap belanda antara lain Hisbullah dan Sabilillah. KH. Abdul Wahid Hasyim dan beberapa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-in (parlemen buatan
jepang).Jepang mengizinkan Nahdlatul Ulama diaktifkan kembali dan pada bulan
September 1943 permintaan tersebut dikabulkan.
Pada akhir Oktober 1943
Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui berdirinya wadah perjuangan
baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama (Majelis Syura Muslim Indonesia) atau MASYUMI.Masyumi
adalah kelanjutan dari MIAI yang di bubarkan jepang.Sementara di bidang
politik, selain aktif dalam Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim juga duduk sebagai
pimpinan tertinggi Shumubu (kantor urusan agama) menggantikan KH. Hasyim
Asy;ari. Shumubu pada
awalnya dipimpin oleh kolonel Horrie yang bertugas mengawasi secara ketat organisasi
– organisasi islam terutama
terhadap pendidikan Islam.
Sikap menentang keras Nahdlatul
Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada perintah untuk melakukan seikare
(ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan posisi siap membungkukkan badan
90 derajat semacam rukuk dalam sholat).
KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepadaseluruh umat Islam khususnya warga
Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan seikere karena hukumnya haram..
KH. Abdul Wahid Hasyim tidak henti – hentinya mengadakan kontak dengan para tokoh nasionalis guna mendesak Jepang
segera mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan. Perjuangan mereka
berhasil hingga pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan
konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain yaitu Soekarno, Mohammad Hatta,
muhammad yamin, achmad Soebardjo, Abikoeseno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim AA
Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut panitia sembilan. Mereka
membubuhkan tanda tangannya pada piagam jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Preambule atau pembubukan Undang
– Undang Dasar dalam naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa pancasila menjadi
dasar negara Indonesia.
Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat
nasionalisme yang tinggi. Selain itu peran pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajahan yang merupakan
kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan zaman. Perlawanan digerakkan
dari pesantren sehingga pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang
kemerdekaan.
NU Setelah Kemerdekaan
Apabila di zaman Jepang aktifitas NU berfokus pada perjuangan membela
kemerdekaan agama, bangsa secara fisik maupun politik, maka di masa revolusi
(1945-1949) lebih diperhebat lagi, NU agaknya sadar betul bahwa sejarah masih
dalam proses. Meski kemerdekaan telah tercapai, pertahanan dan keamanan masih
harus di jaga dengan ketat. Karena itu ketika tentara sekutu (NICA) hendak
mencoba kembali menggantikan kedudukan Jepang, NU segera memanggil
konsul-konsulnya se-Jawa dan Madura guna menentukan sikap terhadap NICA, dan
mengeluarkan resolusi yang bernama ‘Resolusi Jihad’ yang sangat penting bagi
sejarah revolusi 1945 dan di pimpin langsung olah KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi
Jihad ini kemudian menggema di seluruh Jawa dan Madura terutama di Surabaya.
Semangat jihad malawan tentara sekutu dan NICA membara di mana-mana.
Pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas Hizbullah dan Sabilillah.
Suasana gegap gempita mewarnai kehidupan masyarakat yang pada dasarnya tinggal
menunggu perintah, karena itu mungkin sekali resolusi jihad itu kemudian
menjadi inspirasi bagi berkobarnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
yang di kenal sebagai ‘ Hari Pahlawan’. Selain dari pada itu, tokoh-tokoh
penting NU menduduki posisi penting dalam dewan pimpinan partai Masyumi
Indonesia, dan ini bisa di lihatdari nama-nama yang tercantum dalam
kepemimpinan Masyumi periode pertama, yang dalam strukturnya dibedakan atas dua
lembaga : Pengurus Besar dan Mejeli Syura.
Pengurus Besar di
pimpin oleh Dr. Soekiman, Abi Koesno T, dan Wali al-Fatah, sedangkan Majelis
Syura dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusuma, KH.A. Wahid Hasyim
dan Mr. Kasman Singodimejo. Peranan itu diperkuat lagi ketika partai Masyumi mengadakan
muktamar di Solo pada 10-13 Februari 1946. Dalam muktamar tersebut terjadi
sedikit sekali perubahan mengenai struktur organisasi yang pada dasarnya
memperkuat posisi NU dalam ‘Dewan Pimpinan Partai’. Dengan demikian peran NU
bukan hanya sebagai pemegang kendali dalam Masyumi, melainkan juga menentukan
arah politik partai. Barang kali karena posisi penting itulah maka pada
muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946, perlu menegaskan: NU masuk
sebagai anggota istimewa Masyumi. Bahkan lebih dari itu, muktamar juga
menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif dalam
mendukung tegaknya partai Masyumi, hingga kemudian tidak jarang dijumpai
pimpinan NU di daerah merangkap sebagai pimpinan Masyumi.
Selama masa perkembangan (1935-1950) NU telah melakkukan berbagai perubahan
cukup berarti, baik untuk kepentingan intern NU maupun bagi kepentingan bangsa
pada umumnya. Kepentingan intern, NU telah melakuakn perbaikan-perbaikan dalan
bidang sosial, pendidikan maupun dakwah. Bahkan sempat pula mengembangkan sayap
organisasinya dikalangan kaum muda, remaja putri maupun kaum ibu, berupa
organisasi Gerakan Pemuda Anshor, Fatayat NU, dan Muslimat NU, ini berarti
eksistensi NU sebagai organisasi keagamaan sosial semakin kokoh. Hingga pada masa
pemerintahan Soeharto, NU masih mempunyai peranan penting dalam pemerintahan.
Pada tahun 1965- 1968 terdapat dua orang NU memainkan peranan yang menentukan,
yaitu Achmad Sjaihu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR) dan Subchan di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPRS), Subchan di angkat sebagai salah seorang Wakil
Ketua MPRS, mewakili kelompok Islam (1966-1971).
D.
Peran
Nu Pada Masa Orde Lama
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis
molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan
paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi
masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska
kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi
Islam modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan partai politik tersendiri
dan ikut pemilu legislatif dan konstituante pada 1955 dengan menjadikan sebagai
kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada zaman orde lama paska
kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI dan Masyumi, presiden Soekarno
membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI), Agama (NU), dan Komunis
(PKI).Soeharto memaksa NU berfusi dengan faksi Islam lain dengan membentuk PPP
paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara terbesar kedua setelah
Golkar. Pembentukan PPP ini mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana
peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan
dimotori Gus Dur mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali
ke khitah 1926.Selama 14 tahun
Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain politik bebas aktif
dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah satunyamendirikan
Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan. Masih ingat
pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa depan
Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke kantong-kantong NU.
Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada
Muktamar di Cipasung Tasikmalaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu
Hasan namun ternyata gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU
dengan politik, 1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis
masa sarungan dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi
politik baik di NU dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang
mencalonkan diri wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur
yang mencalonkan Gus Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur
pecah dengan terbentuknya kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi
Muhaimin yang akhirnya dimenangkan Muhaimin.Perpecahan PKB ini menggerus suara
PKB yang turun drastis hanya mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004.
Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan
dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul, menjadi pertarungan pemanasan menuju Pilpres
2009.Pilkada Jatim menunjukkan “pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat
memiliki perwakilan NU. Setahun kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU,
yaitu faksi Gus Dur yang akan cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi
Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU struktural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun
lampau bertautan dengan Mega akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK
Wiranto terkait, kemudian faksi adalah pendukung SBY-Budiono dengan motor
Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang
berada di belakang Muhaimin saat konflik PKB.
Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan menjadi
pertarungan 3 koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap dengan
daerah Mataraman yang akan menjadi basis Politik SBY-Budi dan Mega
Prabowo, sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah tapal kuda
dan madura yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya
akan terjadi antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY
Budiono yang didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa
pendukungnya. 40 juta massa NU
yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi lahan pertarungan ketiga kubu. NU
dengan struktur organisasi yang cair dan berbentuk federasi ulama-ulama
dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron pemimpin. Setiap faksi
tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU sejak 1950an masih tetap
sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih massa sarungan.
Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU
yang belajar di Timur Tengah. Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka
melanjutkan pendidikannya di negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik
antara pesantren dan lembaga pendidikan di Timur Tengah, selain semakin
meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan orang
NU, maka banyak anak muda NU yang dikirim belajar ke sana.Dalam dekade akhir,
sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi strategis di dalam tubuh NU
di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah, terutama
Arab Saudi, maka corak pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam formal,
artinya Islam harus menjadi simbol dalam segala hal, tak terkecuali simbol
negara. Makanya, banyak di antara mereka yang cenderung berpikir bahwa NKRI
dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah asalkan sesuai dengan tataran
realitas politik masyarakat.
Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala
hal.Islam mengandung ajaran syumuliyah (komprehensif) dan universal. Hubungan
antara politik dan negara lebih cenderung integrated. Mereka kurang sepakat
dengan adagium minyak onta cap babi, apalagi minyak babi cap onta. Sebab
seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara substansi dan simbol harus sama.
Di dalam studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan bahwa elite NU juga ada yang
dikategorikan sebagai Elite NU Fundamentalis, selain yang Moderat dan
Fragmatis.Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengandung ajaran yang
syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat ditipologikan
sebagai Elite NU Fundamentalis.Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi
berbagai macam konsepsi yang dikembangkan oleh MUI terkait dengan pelarangan
terhadap aliran sesat, liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini dianggapnya
akan dapat menggerogoti terhadap keaslian Islam. Islam yang suci murni harus
dijauhkan dari doktrin yang bertentangan dengannya.Islam harus tetap genuine
sebagaimana sumber aslinya.
NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang
mengusung moderatisme yang rahmatan lil alamin.KH Hasyim Muzadi di dalam
berbagai forum mendengungkan tentang Islam dalam coraknya seperti ini.Dan NU
memang diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme,
i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual.Islam tidak hanya
ramah terhadap sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap
seluruh lingkungan.Islam sebagai mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum
minoritas.Makanya harus terdapat formulasi yang tepat untuk semuanya itu.Di
dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas Pancasila dan
UUD 1945.
E.
Peran NU Pada Masa Orde Baru
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966) menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari
1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada
Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret
1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi
Gerakan Pemuda Ansor. Luapan
kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.Ribuan utusan
yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan
Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme
di bumi Indonesia.Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII
itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai
diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa
setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba
telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam
penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres
VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang
cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967.Hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan
252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS
Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH.Dr Idham Chalid
(Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan
Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri
Agama RI).Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala
persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres
akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi;
(2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1)
Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,
marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama,
segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang
murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama
dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah
serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar
negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju
perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu.Kajian atau analisis itu,
juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.Memang begitulah yang dilakukan
kongres.Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII
tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor
memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif
ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis.Ansor menghadapinya
secara kritis dan korektif.Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus
menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP
Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di
Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.Bahkan GP Ansor waktu itu
sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas
suksenya operasi tersebut.Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua
daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang
bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi
yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah.Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu
tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance,
bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul
authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh
pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah
Kebangkrutan.Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer
mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan
pemerintahan otoriter.Begitulah kira-kira Michael Edwards.
Perjalanan
NU Pada Masa Orde Baru
Pada
dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan
Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering
disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses
kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan
kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata
lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai
politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak
lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya pertemuan, seminar
tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi. Perubahan tersebut, walaupun
merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami
sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi
dengan penguasa.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran, baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.
Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU. Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran, baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.
Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU. Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin.
NU
memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa
dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman
peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat
menonjol, sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan
sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965- 66. Berkat kekuatan
fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa
peralihan tersebut; tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat
diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan,
maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan
tersebut, Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir)
dari sistem politik; massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran.
Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah Idham Chalid, politisi
gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa
beradaptasi dengan setiapperubahan.
Perkembangan NU Pada Masa Orde Baru
Perkembangan NU Pada Masa Orde Baru
Perkembangan
NU dimungkinkan oleh sejumlah factor yang mengurangi isolasi warga NU dari
masyarakat luas. Salah satu faktor penting ialah berdirinya IAIN di setiap
propinsi, yang membuka peluang bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan
tinggi. Kehidupan di kampus, kelompok diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari
latar belakang berbeda, bacaan yang luas, di samping mata kuliah beragam,
kemudian membantu sebagian mereka untuk memperluas cakrawala sosial dan
intelektual mereka.
Faktor
lain ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat
melalui pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah
LSM nasional dan internasional lainnya. Dengan demikian, pesantren sedikit demi
sedikit mulai ditarik ke dalam jaringan komunikasi internasional. Gerakan LSM
mulai menjadi faktor penting di panggung politik internasional pada dasawarsa
1960-an. Di Indonesia, sponsor asing mulai membidangi LSM pada dasawarsa
1970-an, dan gerakan LSM menjadi semakin menonjol pada dasawarsa 1980-an.
Dari segi jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor eksternal, tetapi khususnya sesudah Muktamar Situbondo semakin banyak orang NU sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam yang relevan.
Dari segi jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor eksternal, tetapi khususnya sesudah Muktamar Situbondo semakin banyak orang NU sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam yang relevan.
Proses
depolitisasi pada masa Orde Baru, kebijaksanaan massa mengambang,
penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas pegawai negeri, normalisasi
kehidupan kampus, pemaksaan azas tunggal, membawa dampak berat juga terhadap
NU. Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, NU merupakan satu-satunya ormas
yang mempunyai akses ke akar rumput dan sekaligus aktif sebagai organisasi
politik. Karena dukungan massanya, NU selama itu merupakan kekuatan politik
terbesar di luar pemerintah, dan dianggap satu-satunya oposisi yang perlu
diperhitungkan. Di Situbondo kekuatan politik itu dikorbankan dengan harapan
akan dapat menjalin kembali hubungan mesra antara NU dan pemerintah di pusat
maupun daerah. Orang boleh bertanya apakah harga depolitisasi tersebut tidak
terlalu mahal. Tetapi perkembangan pemikiran dan kegiatan sosial yang menjadi
begitu menonjol pada limabelas tahun berikutnya, kelihatannya, tidak akan
mungkin terjadi seandainya tidak ada keputusan Situbondo.
Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
F.
Peranan NU Pada Masa Reformasi
Presiden NU pertama
lahir di era ini, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang tokoh NU yang
kontroversial (baca: pola pikirnya sulit dipahami dan sering “nyleneh”).
Dua presiden yang disegani oleh Amerika adalah Bung Karno dan Gus Dur (red).NU
dari tingkatan pusat hingga daerah semakin tertata dalam “penggodogan”
kader-kadernya untuk berkiprah membangun bangsa, namun masih kurangnya respon
distribusi kader (baca: mainstream penokohan) sehingga
sedikit terhambat dalam beberapa hal teknis dan kurang merata. Oleh karenanya
mari kita sebagai jam’iyah NU kembali merealisasikan cita-cita luhur dalam
pengembangan keagamaan dan kebangsaan. Memulai dari hal kecil untuk gerakan
yang lebih besar, dari NU untuk Indonesia.
Masa reformasi yang
menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah
momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim
orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat
itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama
dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi
inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia
kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di
Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya
Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang
berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU,
yaitu :
1.
Nahdlatul Ulama memiliki
tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang
lebih tepat.
2.
Rekonsiliasi nasional
jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan
kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.
Reformasi jangan sampai
berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan
baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.
Penyampaian berbagai
gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan
dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5.
Kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6.
TNI harus berdiri di
atas semua golongan.
7.
Pemberantasan KKN harus
dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
8.
Praktik monopoli yang
ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan
selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar
agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran
Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang
ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A.,
Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998,
para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi,
makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak
cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa
merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat
pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi
kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan
stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi
tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok
ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi
Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.
Menghimbau kepada
semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2.
Mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan
aspirasi rakyat.
3.
Mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4.
Pelaksanaan reformasi
harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5.
Segera dilaksanakan
pemilu oleh pelaksana independent.
6.
Penghapusan dwi fungsi
ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini
dibacakan.
7.
Menghapus dan mengusut
pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8.
Mendesak untuk segera
dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus
dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan
kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah
yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat
segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang
diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999,
yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah,
diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar
komponen bangsa.
G.
Peran NU Pada Masa Pasca Reformasi
Dengan
tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih
leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang
sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang
dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan
sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian
dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan
kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah
lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan
terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak
umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya
dengan NU.Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor,
Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang tergabung dalam PMII.
Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang
bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan
akarnya juga semakin kuat.
Angkatan
Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan
mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional.
Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia
(Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya
kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam
skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta
mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka
tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan
kemudian tinggi.
Misi
NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan
radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam
negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk
merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan
yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah
(aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan
NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila
dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya
adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al
Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah
satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara
akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme
baik radikal maupun liberal.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
NU sebagai oraganisasi
masyarakat terbesar di Indonesia telah memainkan peranan yang penting dalam
kemerdekaan dan perkembangan bangsa dan agama. Sebagai oraganisasi yang
bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah Islamiyah, NU telah
memberikan banyak perubahan dan kemajuan. Semangat NU zaman dahulu hingga
sekarang semestinya harus tetap tumbuh, sehingga dapat terus mewujudkan apa
yang telah di cita-citakan oleh sang pendiri KH. Hasyim Asy’ari, sehingga mampu
melahirkan tokoh-tokoh bagi perubahan bangsa yang lebih baik, jika pada zaman
dahulu beliau mampu ‘menelurkan’ 25000 kyai, maka bukanlah hal yang sulit bagi
NU sekarang untuk melahirkan cedekiawan-cendekiawan muslim yang mampu membawa
agama dan bangsa ini untuk menjadi lebih baik.
1.
Keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam
mewujudkan Indonesia merdeka keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Nahdlatul
Ulama menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan
sesuatu yang final.
2.
Sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama
terhadap penjajah terbaca dari perjalanannya yang kemudian disebut sikap non
cooperation, yaitu sikap menentang atau tidak mau bekerja sama berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan penjajah yang merugikan atau bahkan mengancam bangsa,
terutama umat Islam.
3.
Peran yang diperlihatkan Nahdlatul
Ulama baik pada masa penjajah Belanda maupun Jepang, menunjukkan suatu bukti
bahwa Nahdlatul Ulama mempunyai nasionalisme yang tinggi, karena menyadari
sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
4.
Nahdlatul Ulama juga turut berperan
dalam membentuk dasar Negara melalui keikutsertaan KH. Abdul Wahid Hasyim
sebagai salah satu anggota panitia sembilan yang merumuskan undang-undang
dasar.
DAFTAR PUSTAKA
http://aiirm59.blogspot.co.id/2012/07/makalah-sejarah-nahdlatul-ulama.html
http://aswajanu86.blogspot.com/2015/09/peranan-nahdlatul-ulama-dalam-bidang.html
http://agusmr220.blogspot.com/2013/12/peran-nu-dalam-kehidupan-berbangsa-dan.html
http://emonzdoank.blogspot.co.id/2012/03/peranan-nahdlatul-ulama-dalam.html
BetMGM opens new online sports betting site, BetMGM casino
BalasHapusMGM Resorts International has opened its sports 동해 출장샵 betting operation 안양 출장마사지 BetMGM 밀양 출장마사지 Casino, a 이천 출장샵 sportsbook and casino in Las Vegas. 목포 출장안마