PERJALANAN
ASWAJA KE NUSANTARA
RESUME
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Agama Islam II (Aswaja)
Dosen Pengampu: Nur
Rohman, S.Pd., M.Si.
Oleh:
1. Resty
Laila Anjani 151120001634
2. Annisa
Maghfiroh 151120001641
3. Novi
Awwalia F.N 151120001674
4. Dian
Setianingsih 151120001676
AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA
2016
KATA
PENGANTAR
Segala
puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan resuman ini. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam Resume
Materi Kuliah yang berjudul “PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA”penulis bermaksud menjelaskan secara
detail tentang materi ini. Adapun tujuan
pembuatan resume ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama 2 (Ahlusunnah Wal
Jama’ah). Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan
penulisan resume ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada Bapak NUR ROHMAN, S.Pd., M.Si.
atasbimbingannya kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Agama Islam II
(Ahlussunnah wa al-Jama’ah) dengan baik.
Jepara, 27 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULAN
Islam
masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur
Rosyidin tepatnya pada
masa Khalifah Usman bin Affan. Penyebaran islam
di Indonesia masuk melaui dua jalur yaitu jalur selatan yang ber mazhab Syafi’i ( Arab, Yaman, Malaka, Indonesia ), dan jalur
utara yang ber mazhab Hanafi
( Turki, Persia, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia ) penyebaran
islam semakin berhasil khususnya di
Pulau Jawa
berhasil sejak abad ke 13 oleh Walisongo.
Dari murid-murid Walisongo
secara turun temurun menghasilkan ulama-ulama besar seperti Syekh Yusuf Sulawesi Syaikhuna Khoil Bangkalan ( Madura ). Islam berkembang pesat
di Jawa karena jasa para
wali tersebut yang mau berjuang dengan sabar dalam mendakwakan dan mengajarkan
islam kepada penduduk Jawa.
Telaah terhadap Ahlussunah
Wal Jamaah (Aswaja) sebagai bagian
dari kajian keislaman upaya yang mendudukan Aswaja
secara ke opersasional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran
atau golongan tertentu. Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang
di era tertentu untuk kita yakini sama halnya dengan aliran teologi sebagai
dokmah dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu padahal aliran
teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi
sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya selama kurun waktu berdirinya (
1926 ) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama.
Materi yang kita bahas :
1.
Awal berdirinya
Nahdlatul Ulama
2.
Perjalanan Aswaja ke Nusantara
3.
Jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci pada abad xvii – xx
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal berdirinya Nahdlatul Ulama
Nahdatul Ulama disingkat NU, yang
merupakan suatu jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti
Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926
M/16 Rajab 1344 H. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar
di Indonesia dewasa ini. NU mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan
para pengikut mereka yang berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam
Sunni terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nu dahulu dan kini terutama masih
berada di pesantren.
Sebagai latar belakang terbentuknya
organisasi NU ini adalah: gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah
lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin
al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit
gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.
1.
Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU)
Jika di Mesir dan Turki gerakan
pembaruan muncul akibat kesadaran politik atas ketertinggalan mereka dari
Barat, di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan
internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam
bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan
kemusyrikan yang melanda umat Islam.
Sementara di Indonesia tumbuh
organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan
kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November
1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
Hal-hal tersebut telah membangkitkan
semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan
dan dakwah, seperti Nahdhatul Wathan (Kebangkitan tanah
air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran). Kedua organisasi
dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur organisasi inilah
yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.
Pada saat yang sama, tantangan
pembaruan yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama
Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah, yakni organisasi Islam terbesar kedua pada
abad ke-20 di Indonesia. Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz
ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik
terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu
sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari
serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta
merupakan kebutuhan yang mendesak. Hasyim As’ari (1871-1947) Kiai dari
pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling
disegani-menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan
dia menjadi ketua pertamanya atau ro’is akbar.
Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU
sebagai berikut:
1.
Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
2.
Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian
dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
3.
Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan
kesesuaiannya dengan ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah
4.
Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
5.
Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah,
dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
6.
Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian,
perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam
Dari keenam usaha tersebut, hanya satu
butir saja yaitu usaha pertanian, perdagangan dan industri yang tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan kaum ulama secara khusus.
Hasil Muktamar XXVII NU di Situbondo
pada tahun 1984, melalui sebuah keputusan yang disebut “Khittah Nahdatul
Ulama”, menegaskan kembali usaha-usaha tersebut dalam empat butir. Pertama,
peningkatan silaturrahmi antar ulama. Kedua, peningkatan kegiatan di bidang
keilmuan/pengkajian/pendidikan. Ketiga, peningkatan penyiaran Islam,
pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial. Keempat,
peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah,
mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan-urusan pertanian, perniagaan dan
perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’.
Dengan demikian pengaruh ulama
sangat besar dalam NU, dan telah mendapat konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya NU adalah Jam’iyyah Diniyyah yang
membawakan faham keagamaan, sehingga yang menjadi mata rantai pembawa faham
Islam Ahlussunnah Wal-jama’ah, selalu ditempatkan sebagai
pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.
Selanjutnya akan dijelaskan sekilas
tentang lambang NU, lambang NU ini dibuat pada tahun 1927. Mempunyai lambang
sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad, empat bintang
kecil, masing-masing dua disebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan
empat khulafa’al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan empat
Imam Mazhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga bermakna
sembailan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama Islam di jawa.
Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan, yaitu bumi,
yang kepadanya manusia akan kembali dan dirinya manusia akan kembali dan
manusia akan dibangkitkan pada hari pembalasan. Tali kekemasan yang melingkari
bumi dengan 99 ikatan melambangkan 99 nama-nama indah Tuhan, yang dengannya
seluruh muslim di dunia disatukan.
B.
Perjalanan
Aswaja ke Nusantara
1.
Awal
perjalanan aswaja
Perkembangan
Islam di
Nusantara
tidak bisa dilepaskan dari peran Hijaz (Makkah dan Madinah). Hijaz, sejak zaman
Rasulullah SAW menjadi primadona bagi orang yang ingin
mendalami wahyu dan Hadist An-Nabawi.
Sempat, banyak ilmuwan Islam
meninggalkan Hijaz disebabkan karena adanya pembantaian massal yang
dilakukan oleh Hajaj bin Yusuf yang
mensyahidkan Abdullah bin Zubair, ulama yang
sangat disegani dari sisa-sisa sahabat Rasulullah SAW. Setelah simpuh darah
membanjiri Masjidil Haram, banyak ilmuwan Muslim yang
pindah menuju Baghdad, Syam dan Mesir
serta Yaman. Hingga, ketika situasi Hijaz sudah stabil lagi, ia diserbu para
thâlabah yang
ingin mencari ilmu dan keberkahan beribadah di Masjidil Haram dan Masjid
an-Nabawi yang
pahalanya dilipatgandakan sebagaimana yang disabdakan
baginda Nabi Muhammad SAW.
Dari
Hijaz, terpancarlah sinar Islam
hingga menjulang ke seantero dunia, termasuk Nusantara (Indonesia).
Indonesia terkena sinar keislaman
Hijaz pada abad 1 Hijriyah/ 7 Masehi, yaitu pada masa Khalifah Ustman bin
Affan. Sinar itu semakin bercahaya pada abad 18, 19 dan 20.Banyak ulama asal Nusantara
yang
mendatangi Hijaz, baik untuk berdagang, menuntut ilmu atau untuk
menjalankan ritual ibadah haji. Dari
banyaknya animo umat Islam
asal Nusantara
ini, maka terbentuklah Kampung al-Jawi yang
barada di Syami’ah, dekat Pasar Seng.Kampung al-Jawi ini, bukan hanya dihuni
oleh bangsa Indonesia, melainkan umat Islam
Asia Tenggara, banyak yang bertempat tinggal disana.
Mulanya,
umat Islam yang
belajar di Hijaz, terutama di Masjidil Haram mendapatkan celaan dan hinaan. Namun, dengan penuh
kesabaran mereka tetap semangat untuk selalu belajar dan beristifâdah kepada
para Syeikh yang
mengajar di Masjidil Haram.Buahnya, Hijaz dibanjiri oleh pengajar dan thâlabah yang
datangnya dari Nusantara dari generasi ke
generasi.Ulama-ulama dari Nusantara banyak memainkan
peranan penting dalam akademik keulamaan. Prestasi mereka banyak yang
mengungguli ulama-ulama yang
asli orang Arab, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi,
Syaikh Mahfudz at-Turmusi, dan Syaikh Yasin Al-Fadani.
26
ulama Aswaja asal Nusantara yang
mempunyai prestasi gemilang (seperti menjadi imam, khatib dan pengajar di
Masjidil Haram) yang
dapat membawa nama baik Nusantara (Indonesia) hingga go
internasional. Ulama-ulama tersebut yaitu, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Makki,
Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh Mahfudz at-Turmusi
al-Makki, Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi al-Makki, Syaikh Muhsin al-Musawa
al-Palimbani al-Makki, Syaikh Abdullah Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi
al-Makki, Syaikh Baqir bin Muhammad Nur al-Jukjawi al-Makki, Syaikh
Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, Syaikh Ahmad bin Abdul Ghaffar al-Sambasi
al-Makki, Syaikh Ismail al-Khalidiyah al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh Muhammad
Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Makki, Syaikh Junaid al-Batawi, Syaikh Abdul
Karim al-Bantani al-Makki, Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari al-Makki, Syaikh
Muhammad Ahyad bin Muhammad Idris al-Bughuri al-Makki, Syaikh Abdul Ghani
al-Bimawi al-Makki, Syaikh Jinan Muhammad Thayyid al-Sariaki al-Makki, Syaikh
Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Makki, Syaikh Abu Bakar bin
Syihabudin at-Tambusi al-Makki, Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi al-Makki,
Syaikh Muhammad Zainudin al-Baweani al-Makki,
Syaikh Abdul Qadir al-Mindili al-Makki, Syaikh Abdullah bin Hasan al-Jawi
al-Makki, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Jawi al-Makki, Syaikh Marzuki al-Jawi
al-Makki dan Syaikh Muhammad bin Umar al-Sumbawi al-Makki.
2.
Masuknya agama islam ke Nusantara.
perjalananAswaja di
Indonesia dengan membaginya menjadi sembilan fase.
Fase pertama, berbicara Aswaja di
Indonesia sama dengan mengurai sejarah Islam di Indonesia. Karena penyebaran
Islam di Indonesia sangat terpengaruh oleh kontruksi dunia Islam secara
internasional. Beliau mengutip tesis pemikir muslim moderenis dari Mesir, Hasan
Hanafi, ‘Ditengah perkembangan ekonomi diberbagai belahan dunia, yang
terjadi akhirnya adalah kekalahan kesalehan sosial dan kemenangan ketidak
salehan sosial.’
“Dalam kondisi demikian,
orang-orang sufi memiliki peranan sangat penting dalam menjaga dan menyebarkan
kemurnian agama. Mereka berkeliling untuk menyebarkan agama Islam dengan
mengedepankan rasa daripada nalar. Karekter mengedepankan rasa daripada nalar
ini hampir sama dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat Nusantara sehingga ke
Islaman yang bercorak sufistik ini mudah diterima dan dipahami oleh penduduk
lokal,” terangnya.
Fase kedua, adalah ketika terbentuknya kerajaan Demak pada tahun 1475. Tiga tahun
setelah kerajaan Demak berdiri Majapahit runtuh. Pada fase ini ada semacam
konflik yang cukup menarik yakni antara dewan wali dengan Syeh Siti.
VOC gagal. Dua tahun kemudian
VOC baru berhasil masuk mengunci selat Malaka melalui agresi militer. Dalam
kondisi tersebut Aswaja mengalami proses Jenar. Simpulan sederhananya, terjadi
pertarungan antara wacana Fiqh dengan Ilmu Kalam,” tandasnya.
Pada saat yang bersamaan,
dimulailah fase ketiga yakni dengan kedatangan VOC ke Nusantara.
Pada tahun 1509, VOC hendak memasuki selat Malaka. Namun saat melakukan loby
dengan penguasa setempat yakni Sultan Mahmud Syah, radikalisasi ketika bertemu
dengan realitas sosial.
“Sultan Mahmud Syah adalah
tokoh pergerakan pertama dalam melawan penjajah Belanda. Aswaja menjadi
kekuatan yang mampu membuat pelakunya tergerak melakukan pemberontakan ketika
terjadi gesekan sosial. Hal itu terbukti banyaknya kyai-kyai, ulama’, guru
tarekat dan kaum Aswaja yang terlibat dalam pergerakan Nasional. Turun ke medan
juang melawan para penjajah hingga Indonesia merdeka 1945,” katanya.
fase keempat. Para aghniya’ di tanah air mulai melakukan ibadah haji.
Dalam pelaksanaannya, prosesi haji terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama, mereka hanya berhaji kemudian pulang. Dan yang kedua adalah mereka
yang berhaji kemudian tidak langsung pulang, namun mengaji disana dengan para
ulama Timur Tengah. “Disinilah wacana Aswaja Nusantara bersentuhan dengan Islam
di Timur Tengah,”.
Fase kelima, adalah gelombang kedua wacana Aswaja Nusantara bertemu dengan Islam
Timteng yakni masa KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan ulama-ulama
lainnya. Pada fase ini Wahabi sudah muncul di Timteng bahkan sudah masuk
Makkah. Para ulama’ Aswaja itu juga bersentuhan dengan pemikiran Rasyid Ridho,
Muhammad Abduh namun tidak terpengaruh.
“Sementara ada juga orang
Indonesia yang bertemu dengan mereka kemudian membawa pemikiran itu ke
Indonesia dan menjadi generasi pertama wahabi Indonesia yang dikenal dengan
sebutan kaum modernis. Pada saat itu, di Indonesia juga sudah mulai muncul
definisi Aswaja,” terangnya.
Fase keenam, terjadi saat Hindia Belanda memberlakukan politik etis yang salah
satunya pointnya adalah edukasi sehingga muncullah sekolah-sekolah di Indonesia
pada tahun 1901. Kemudian terjadilah dialog wacana Islam dengan ilmu-ilmu
modern. Titik temu itulah yang kemudian merubah wajah ke Islaman di Indonesia.
Pengaruh terhadap Muhammadiyah adalah Wahabi serta Islam Modern. “Sebaliknya,
di kalangan ulama-ulama Aswaja justru terjadi radikalisasi sessi II yang
kemudian melahirkan laskar-laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah yang
digerakkan oleh para santri dan kyai,” tandasnya.
Fase tujuh adalah ketika sudah berdiri
organisasi NU. Indonesia dibukalah
sekolah-sekolah secara massif di Indonesia. Aswaja ala NU ketika berdialektika
dengan ilmu-ilmu sosial yang diajarkan di sekolah-sekolah berpengaruh cukup
besar terhadap modernisasi di tubuh NU.
Fase kedelapan, adalah ketika tahun 1990 beredar di Indonesia Ilmu sosial kritis yang
bertemu dengan Aswaja, maka melahirkan Islam Konservatif. Aswaja menjadi
landasan sosial yang kemudian secara bersamaan berpengaruh terjadinya liberasi
ditubuh NU khususnya di kalangan anak mudanya. Nah, proses liberasi di
NU ini mendorong tradisi taqlid qouli menjadi manhaji. Dari
fiqh menjadi usul fiqh. Di level ilmu kalam, Aswaja tidak lagi menjadi aqwal
tapi sebagai manhajul fikr.
fase kesembilan adalah pasca Aswaja dijadikan sebagai Manhajul Fikr sehingga
liberalisasi di NU dianggap semakin mengkhawatirkan para kyai NU. Para kyai
kemudian merumuskan Attasfiyah atau pemurnian NU dari Syiah, Wahabi,
JIL dan lain sebagainya. Dengan attasfiyah ini kemudian Aswaja
mengalami pergeseran dari manhajul fikr ke manhajul harakah.
“Aswaja sebagai Manhajul harakah ini disyarakatkan pertama adalah sumber pengetahuan. Diantaranya, dalil
wahyu, dalil aql, dalil waqi’ (pengalaman/empiris), dalil
adat serta dalil irfani (ilham/ ru’yah shodiqoh),” tandasnya.
Setelah sumber pengetahuan, syarat keduaadalah basis
ideologi. Gerakan atau organisasi apapun akan
patah kalau tidak memiliki ideologi
Syarat ketiga bagaimana aswaja sebagai manhajul harakah diimplementasikan
adalah adanya prinsip gerakan. Gerakan berorganisasi ala aswaja ini mirip-mirip
dengan baris berbaris. Prinsip gerakan ini adalah hukum dialektika supaya
pergerakannya menjadi luwes. Mengakrabi zaman.
Syarat keempat bagaimana aswaja diimplementasikan sebagai manhajul harakah adalah
dengan adanya strategi gerakan. Rumusnya adalah pribumisasi, nasionalisasi,
konservasi, revitalisasi dan dinamisasi.
Syarat kelima
adalah tahapan gerakan. Ini adalah tahapan
terakhir. “Kita harus memiliki rumusan setiap fase harakah yang akan
kita lalui.
3.Masuknya Agama Islam di Tanah Jawa
Mula-mula
islam masuk ke indonesia di bawah oleh para pedagang dan para sifi muslim yang
datang dari Gujarat tidak hanya melakukan jual beli namun untuk menyiarkan
agama islam. Biasanya pada waktu senggang mereka berdakwah seperti melakukan
ibadah sholat pada waktu sebelum dan sesudah sholat mereka melaksanakan satu
kewajiban untuk mensyiarkan ajaran islam kepada orang yang bertemu dengannya
dan belum masuk islam. Salah satu wali yang berasal dari Gujarat adalah maulana
malik Ibrahim yang wafat pada tahun 822-1419 M. Makamnya terdapat di gresik,
diduga juga bersasal dari gambai negeri Gujarat. Diketahui dari keterangan yang
terdapat di batu nisannya bertulis huruf arab. Dari keterangan batu nisan
tersebut memperkirakan penjelasan pertama maulana malik Ibrahim itu hidup
hingga tahun 822 hijriyah atau 1419 M. ia menyebarkan agama islam di jawa
khususnya jawa timur sasaran dakwahnya para sultan, menteri, rakyat yang fakir
dan miskin. Berkat jasanya agama islam yang menjadi agama yang di peluk oleh
kebanyakan penduduk di jawa. Dalam menyebarkan agama islam berlangsung dalam
Suasana yang damai dan bijaksana tanpa pertumpahan darah atau kekerasan.
Sebab-sebab yang membawa islam dapat disebar kan didalam suasana yang damai
sebagai berikut ;
1. Penyiar-penyiar islam bermula terdiri dari para
pedagang dan para wali.
2. Metode penyampian dakwah islam sudah sejalan
dengan ajaran al-qur’an. Yaitu, islam supaya disampaikan secara hikmah (
bijaksana ) dengan memberikan pengajaran yang baik dan cara bertukar pikiran
sebaik-baiknya.
3. Kebijaksanaan para mubalig yang datang telah
dapat menyelami dan memahami watak bangsa Indonesia.
Periode
penyebaran dan penyiaran agama islam di jawa ;
1.
Periode Gresik
Periode yang berupa
penyampian ajaran-ajaran islam kepada masyarakat luas dan mempergiat
pembentukan kader-kader. Pembentukan kader berlangsung dalam suatu pusat
pembinaan yang di sebut madrasah dan pondok pesantren.Islam pada periode ini
sudah di kenal secara luas oleh masyarakat. Madrasah dan pesantren dijadikan
tempat memperkokoh keyakinan kebenaran agama islam kepada orang yang baru masuk
islam.
2.
Periode Demak
Periode yang dengan segala
tenaga dan fikiran telah dicurahkan untuk menyusun kekuata dan kekuasaan.Sudah
diarahkan kepada peningkatan prestasinya dalam bidang politik dan
kekuasaan.Masing-masing periode berlangsung dalam waktu yang cukup lama.Dalam
arti disampaikan kepada masyarakat luas membutuhkan waktu sampai puluhan tahun.
Wali di
Indonesia banyak jumlahnya namun yang dikenal hanya walisongo yaitu ;
1. Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim)
Dikenal dengan beberapa
nama yaitu Maulana Maghribi, Syekh Maghribi dan Sunan Gresik. Keturunan dari
Zainul Abidin bin Sayyidinah Hasan bin Sayyidinah Ali bin Abi Thalib menantu
Nabi Muhammad saw. Beliau di perkirakan lahir sekitar tahun 720 hijriyah atau 1350
M. Maulana Malik Ibrahim datang ke Indonesia pada tahun 720 atau 1379 dengan
bertujuan untuk mengislamkan raja majapahit dan masyarakat pada waktu itu yang
bernama Prabu Hayam Wuruk. Diterima dengan baik selayaknya tamu kerajaan.
Maulana Malik Ibrahim
mengambil daerah Jawa Timur yaitu daerah Gresik untuk menetap dan mengembangkan
agama islam. Langkah awal dia ikut berbaur bersama-sama mesyarakat untuk berdagang.
Sedikit demi sedikit mengenal banyak orang, memperkenalkan agama islam
khususnya kepada masyarakat pedagang. Ada tiga cara berdakwah ; (1) memperkenalkan
diri dan mengenal lingkungan,(2) mulai mengenalkan ajaran islam,(3) mengajak
masyarakat untuk masuk islam. Dengan pendekatan seperti itulah ia mendapat
simpati dari masyarakat. Setelah kurang lebih 4 tahun mengembangkan ajaran
islam pada akhirnya beliau wafat pada tanggal 12 rabiul awal 882 hijriyah di
makamkan dipemakaman gapura wetan gresik jawa timur.
2. Raden Rahmat ( Sunan Ampel )
Lahir di Campa daerah Aceh
pulau Sumatra pada tahun 753 hijriyah atau 1401 M. ketika berusia 20 tahun ia
diperintahkan pergi ke Majapahit membawa amanah mengislamkan raja Majapahit
yang masih saudara sepupuhnya. Dalam perjalanan beliau singgah di Palembang
yang dipimpin oleh Adipati Arya Damar. Setelah itu melanjutkan perjalanan
menuju Majapahit sesampainya di majapahit ia mengajak raja Majapahit untuk msuk
islam sekalipun tidak mau masuk islam namun raden rahmat di teriam dengan baik
dan diberi izin untuk menyebarkan agama islam. Di Ampel Denta mendirikan
pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan sebagai tempat berdakwah.
Diantara mereka adalah Raden Paku ( Sunan Giri ) Maulana Ishak yang berhasil
mengislamkan Raja Blambangan, Raden Maulana, Makhdun Ibrahim ( Sunan Bonang ),
Syarifudin ( Sunan Drajat ), Patah yang menjadi Sultan pertama di Demak. Ia
juga menjadi penasehat kerajaan islam dan juga membangun masjid Demak tahun
1479 M. Semasa hidupnya Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tumegung Arya
Teja bernama Nyai Ageng Manila. Mempunyai tiga anak yaitu Makdum Ibrahim (
Sunan Bonang ), Syarifudin ( Sunan Drajat ), Nyai Gede Maliha ( istri Sunan Giri
).
3. Sunan Giri
Salah satu seorang Wali
Songo yang hidup pada abad ke-15 Masehi. Nama aslinya adalah Raden Paku ada
juga menyebut Prabu Samata, atau Sultan Abdul Faqih. jadi Sunan Giri memiliki 3
nama. Ayahnya bernama Maulana Ishak berasal dari Blambangan Jawa Timur. Dalam
upaya memperoleh ilmu agama, Sunan Giri berusaha tekun belajar, mula-mula
memperoleh dari ayahnya, kemudian belajar kepada Sunan Ampel, serta belajar
dari beberapa ulama di daerah Pasai dan tanah suci Mekkah. Raden Paku mendapat
gelar dengan sebutan Sunan Giri. Terkenal sangat alim dan terhormat di kalangan
masyarakat. Memiliki banyak murid dan juga sering member nasihat kepada para
raja di kerajaan islam Demak.
4. Sunan Bonang
Lahir pada tahun
859H/1465 M. di Desa Ampel Denta Surabaya. Ia mendapatkan pendidikan pertama
kali oleh orang tuannya yang bernama Sunan Ampel. Setelah beranjak dewasa
beliau dikirim orang tuannya bersama Raden Paku untuk belajar ke Pasai (Aceh)
dan selanjutnya ke Mekkah (untuk menunaikan ibadah haji)
Setelah beberapa tahun
beliau kembali ketanah air dan mengembangkan ajaran islam ke pada masyarakat
Jawa Timur khususnya daerah Tuban. Ia juga mendirikan pondok pesantren sebagai
tempat pendidikan bagi orang yang hendak menuntut ilmu, selanjutnya mendirikan
masjid untuk santri-santrinya.
Sunan Bonang juga
dikenal dengan pencipta gending (lagu) pertama yang digunakan untuk
mengembangkan ajaran islam di Pesisir Utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama
islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang
sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Para wali memanfaatkan
pertunjukan tradisional itu sebagai alat dakwah. Dalam syair lagu tersebut
berisi pesan tauhid (ke esaan Allah). Sunan Bonang wafat pada tahun 930 H/1525
M dalam usia 60 tahun ia dimakamkan di daerah Tuban.
5. Sunan Kudus
Syekh Ja’far Shodiq
nama aslinya adalah Amir Haji Putera Raden Usman Haji. Ia hidup sekitar abad 16
(1550). Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhil Putri Sunan Bonang dan
dikaruniai seorang putra bernama Amir Hasan. Sedangkan pernikahanya dengan
putri Adipati Tenung (nama tempat) dari
Majapahit Sunan Kudus di karuniai 8
putera yaitu : Nyai Ageng Pembayung, penambahan Palembang, penambahan makaos
Ronggo Kusumo, Pangeran Kodi, pangeran Karimun, pangeran Sujoko, Ratu Pakoja,
Ratu Parada Binabar yang kemudian menikah dengan pangeran ponco wati (panglima
perangnya Sunan Kudus).
Pada masa mudanya
beliau pernah sebagai panglima perang kerajaan Demak. Ia mengajarkan agama
islam disekitar daerah Kudus dan Jawa Tengah pesisir pantai utara. Ia juga
kreatif mengarang cerita-cerita pendek diantaranya adalah gending maskumambang
Diantara peninggalan
adalah masjid menara Kudus yang masih berdiri megah sampai sekarang dan
memiliki nilai sejarah. makamnya berada dibelakang masjid menara Kudus Jawa Tengah.
6. Suana Kalijaga
Memiliki 5 kelebihan
utama yaitu pandai, berjiwa besar, toleran, berpandangan tajam, budayawan, seniman,
serta pujangga. Ia berasal dari Suku Jawa asli.
Sa’at masa remaja
beliau sangat nakal sekali,sehingga diusir oleh orang tuannya, julukannya
adalah lokajaya, karena kesaktiannya yang sukar ditandingi. Nama kecil Sunan
Kalijaga adalah Raden Mas Syahid putra Raden Sahur Tumenggung Wilatikta Bupati
Tuban dan ibunya bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishak dan memperoleh tiga
orang putra. pekerjaan yang ia sukai adalah merampok dan menyamun, dia sangat
ditakuti namun ada seorang yang sanggup mengalahkan beliau adalah Sunan Bonang,
karena kesanggupan beliau mengalahkannya, Sunan Kalijaga berniat ingin menjadi
muridnya, tetapi dengan satu syarat yaitu menjaga tongkat yang ditancapkan di
tepi sungai. Sunan Kalijaga dengan setia menjaga dan mentaati janjinya menjaga
tongkat gurunya. Berawal dari kisah tersebut mendapat sebutan Kalijaga maksudnya adalah Sunan penjaga tongkat, dan
juga mendapat sebutan yaitu Syekh Malaya (berdakwah samabil berkelana).
7. Sunan Gunung Jati
Memiliki banyak nama,
yaitu Syarif Hidayatullah, Syekh Nurullah, Muhammad Nuruddin, Sayid Kamil,
Syekh Mazkurullah, Makhdum Jati, dan Maulana Israil. Pada masa kepemimpinanya
beliau berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan atau
lepas dari kekuasaan Padjajaran.Sunan Gunung Jati menaklukaan daerah Sunda Kelapa
dengan bantuan pangliam Falatehah atau Fatahillah.
Pertemuan tersebut
dilatar belakangi oleh peristiwa dikalahkanya pasai oleh Portugis pada tahun
1521 M. Sunan Gunung Jati dan Fatahillah memiliki kesamaan yaitu menyebarkan
dan memperluas wilayah islam. Fatahillah yang besar jasanya dalam menyebarkan
ajaran islam wafat pada tahun 1750 M di usai yang sudah lebih dari 80 tahun.
8. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Syarifudin,
sering disebut Raden Qosim ia purta Sunan Ampel dengan Candrawati. Sudah
memiliki ilmu dari Ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah disebelah Barat
Kota Gresik, yaitu daerah yang kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Gresik sebelumnya
singgah di tempat Sunan Giri.dalam perjalanannya ke arah Barat, perahunya
tiba-tiba dihantam omba besar namun nyawan Sunan Drajat selamt karena ditolong
oleh ikan talang yang besar karena jasanya Sunan Drajat melarang kepada
turunanya untuk memakan ikan talang , apa bila dilarang akan terjadi sebuah
penyakit yang tidak akan ada obatnya. Setelah sampai dipinggir pantai dan
ternyata masuk wilayah desa Jelag didesa tersebut beliau mendirikan pesantren.
Setelah satu tahun di desa Jelag, Raden
Qosim mendapat ilham supaya menuju kearah selatan disana beliau mendirikan suara untuk berdakwah.
9. Sunan Muria
Nama kecilnya adalah
Raden Prawoto. Kemudian banyak dipanggil dengan nama Raden Umar Said atau Raden
Said. Daerah operasi penyiaran islamnya berada disekitar Gunung Muria, yaitu
sekitar 18 km, sebelah Utara kota Kudus. Ia diperkirakan lahir sekitar abad
ke-15 dan wafat pada abad ke-16. Menurut suatu sumber, ia adalah putera Sunan Kalijaga
dan ibunya bernama Dewi Saroh.
Sunan Muria menikah
dengan Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus. Ia memperoleh putera bernama
Pangeran Santri.
Dalam kegiatan
dakwahnya, Sunan Muria termasuk wali yang memutuskan untuk memindahkan pesantren
Ampel Denta sepeninggal Sunan Ampel. Yaitu, pesantren Ampel Denta dipindah ke
Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
Sunan Muria disebut - sebut
sebagai wali yang rajin berdakwah. Dakwahnya memasuki wilayah pelosok-pelosok
perdesaan dan gunung-gunung serta bergaul dengan rakyat jelata.Inilah yang
menjadi ciri khas yang dimiliki oleh Sunan Muria. Dalam berdakawah, ia memakai
sarana yang menarik, yaitu dibuat seperti sebuah pertunjukan yang bisa di
tonton, dan dari tontonan tersebut bisa dijadikan tuntunan. Misalnya seperti
melalui gamelan, wayang dan tembang.
Dari kreasinya, Sunan Muria
telah menciptakan tembang macapat, yakni ‘sinom’ dan ‘kinanti’.Tembang sinom
umumnya dugunakan untuk melukiskan suasana ramah tamah dan nasihat. Setiap
baitnya terdiri dari 9 baris dengan guru wilangan dan guru swara sebagai
berikut: 8/a. 8/i, 8/a, 8/i, 7/i, 8/u, 7/a, 8/i, 12/a.
Sedangkan tembang
kinanti bernadakan gembira atau kasih sayang. Tetapi ia juga dipakai untuk
mengajarkan keagamaan, nasihat dan filsafat hidup. Setiap baitnya terdiri enam
baris dengan guru wilangan dan guru swara sebagai berikut: 8/u, 8/i, 8/a, 8/a.
Akhirnya, Sunan Muria
wafat di Muria.Makamnya berada di puncak gunung dengan memakai tangga ratusan
jumlahnya. Kini, makam itu ramai di kunjungi penziarahan, terutama pada hari jum’at
pahing.
C.
JARINGAN ULAMA TANAH JAWA DI TANAH SUCI ABAD XVII – XX
1.
Hubungan Tanah Jawa Dengan Tanah
Suci
Hubungan antara tanah Jawa (Nusantara) dengan dunia Timur Tengah sebenarnya telah terjadi jauh
sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW. Hubungan antara nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang
panjang. Azyumardi Azra mengatakan bahwa Kontak paling awal antara kedua wilayah
ini, khususnya perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia dan Saba. Hubungan ini berlangsung hingga
masa setelah munculnya islam. Sejak abad ke-7 M atau abad pertama hijriyah,
nusantara sudah membangun hubungan dengan Timur Tengah baik dalam bidang ekonomi,
politik dan religi. Hubungan ini semakin kuat pada abad ke-16. Terlihat dengan adanya kerjasama
antara kesultanan Aceh dengan dinasti ustmani. Lebih lanjut, Azyurmadi mengatakan, untuk menyimpulkan
hubungan-hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara sejak kebangkitan islam sampai paruh kedua abad
ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase
pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan
yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam
hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai
akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil
aspek-aspek lebih luas. Muslim arab dan Persia, apakah pedagang atau pengembaara
Sufi, mulai mengintensifikasikan
penyebaran islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini
hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat.
Tahap ketiga adalah sejak abad ke
-16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan
yang terjalin lebih bersifat politik di samping keagamaan tadi. Di antara
faktor terpenting di balik perkembangan ini adalah kedatangan dan peningkatan pertarungan
di antara kekuasaan Portugis dengan dinasti Utsmani di kawasan Lautan India. Menjelang paruh kedua abad
ke-17, hubungan-hubungan keagamaan dan politik juga dijalin dnegan para
penguasa haramayn. Dalam periode ini, muslim nusantara semakin banyak ke Tanah Suci, yang pada gilirannya mendorong
terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid jawi.
2.
Jaringan Ulama Tanah Jawa Di Tanah
Suci
Keterlibatan ulama tanah dalam
jaringan ulama Tanah Suci sudah ada sejak abad ke-17. Jejak mereka terekam dan
ditulis oleh para ulama isnad dan sejarawan arab yang menulis tentang biografi
para tokoh dunia Arab, terutama tokoh Tanah Suci. Hal ini dikuatkan dengan
analisa yang dilakukan Azyumardi Azra, dia mengungkap jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad ke-17-18 dari berbagai
sumber Arab dan orientalis. Kemudian masa
berikutnya yaitu abad ke-19-20 merupakan masa keemasan para ulama tanah Jawa di Tanah Suci, karena kuantitas mereka yang
sangat banyak dan kualitas keilmuan mereka menjadi sandaran ulama Tanah Suci lainnya. Berikut jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci yang dimulai sejak abad ke-17
sampai dengan abad ke-20 M.
a.
Ulama Tanah Jawa Di Tanah Suci Abad Ke-17
Di dalam buku Jaringan Ulama
Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, Prof. Azyumardi Azra menyatakan bahwa para perintis
ulama tanah Jawa
di Tanah Suci dimulai pada abad ke-17.Sebagai
perintisnya adalah Nuruddin Al-raniri (w. 1068/1658), Abdurrauf Al-Sinkili (1024-1105/1615-1693), dan
Muhammad Yusuf
bin Abdullah abu Al-Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Maqassari (1037-1111/1627-99). Antara Al-Raniri dan Al-Sinkili mempunyai kedekatan hubungan
Karena mereka bersahabat dan belajar bersama dengan, antara lain, Al-Qusyasyi dan Al-Kurani. Sedang Al-Maqassari dengan Al-Raniri mempunyai hubungan guru dan
murid, serta ia juga belajar kepada gurunya Al-Raniri.
b.
Ulama tanah jawa di Tanah Suci abad ke-18 M
Memasuki abad ke-18, jaringan ulama
tanah jawa di Tanah
Suci dilanjutkan oleh para tokoh yang
banyak mempunyai pengaruh baik di tanah jawa maupun di Tanah Suci. Nama mereka juga dikenal oleh
para ulama Tanah
Suci dan banyak terdaftar di
buku-buku biografi tokoh Arab. Ulama Melayu (Jawa) yang terlibat dalam jaringan ulama abad ke-18 itu,
mempunyai hubungan dan koneksi yang dapat dilacak dengan jaringan ulama pada
masa sebelumnya. Mereka memang tidak mempunyai hubungan langsung guru-murid
dengan para perintis Melayu - Indonesia, yaitu Al-Raniri,
Al-Sinkili dan Al-Maqassari, tetapi guru-guru mereka di Makkah dan Madinah termasuk tokoh-tokoh
terkemuka dari jaringan ulama pada masa mereka. guru-guru itu mempunyai
hubungan langsung dengan para ulama sebelumnya, dengan siapa ketiga ulama jawi
abad ke-17 juga berkaitan. Lebih-lebih lagi, para ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-18 tahu benar
tentang ajaran-ajaran ketiga perintis tersebut, dan mereka menjalin hubungan
intelektual dengan mereka dengan jalan mengacu pada karya-karya mereka.
Diantara ulama tanah jawa yang
meneruskan jaringan ulama di Tanah Suci adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syaikh Abdus Samad
Al-Falambani, Abdul Wahab Bugis, dan Syaikh Abdurrahman Al-Mashri. Keempat
sahabat ini dikenal dengan sebutan Empat Serangkai Dari Jawa.
Hal ini dikuatkan oleh Azyumardi Azra, dia mengatakan : “Ada beberapa
ulama utama Melayu-Indonesia yang berasal dari berbagai wilayah dan
kelompok etnis di Nusantara pada periode abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Sebagaian mereka
datang dari wilayah Palembang di Sumatera Selatan. Yang paling penting di
antara mereka adalah Syihab Al-Din Ibn Abdulllah Muhammad, Kemas Fakhr Al-Din,
Abdusshamad Al-Palimbani, Kemas Muhammad Ibn Ahmad, Dan Muhammad Muhyiddin Bin
Syihabuddin. Selanjutnya adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis
Al-Banjari Dari Kalimantan Selatan, Abdulwahhab Al-Bugisi dari Sulawesi, dan
Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi dari Jakarta, Dan Dawud Ibn Abdullah Al-Fatani
Dai Wilayah Patani, Thailand Selatan. Meski informasi mengenai sebagian di
antara para ulama ini sangat minim, karier dan ajaran mereka menjelaskan bahwa
mereka terlibat baik secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama. Jika digabungkan, mereka merupakan
para ulama paling penting di nusantara pada abad ke-18.
c.
Ulama Tanah Jawa di Tanah Suci abad ke-19-20 M
Memasuki penghujung abad ke-19 dan
awal abad ke-20, semakin banyak ulama Tanah Jawa yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Informasi tentang biografi
mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad
dan buku-buku biografi Arab. Dan banyak dari
mereka yang setelah mendapat ijazah (sertifikasi), mereka mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung,
menjadikan peran mereka di Tanah Suci sebagai penerus jaringan ulama Tanah Jawa yang telah dirintis pada oleh
para ulama Tanah
Jawa sebelumnya.
Mungkin boleh dikatakan bahwa pada
masa tersebut adalah masa keemasan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci, karena kuantitas/jumlah mereka
yang begitu banyak, disertai kualitas keluasan ilmu mereka yang melahirkan
ribuan ulama besar dan ratusan karya tulis sebagai perkembangan intelektual di Tanah Suci. Keadaan seperti ini tidak ada
pada masa sebelum dan sesudahnya. Setidaknya ada beberapa data yang
membantu analisa dalam mengungkap para ulama Tanah Jawa yang menjadi guru besar / ulama Tanah Suci, Masjidil Haram, seperti buku Siyar Wa
Tarajim Ba’dli Ulamaina Fi Alqorni Alrobi’ ‘Asyar Li Alhijrah, Mausu’ah
A’lam Al-Qorn Al-Rabi’ ‘Asyar Wa Al-Khomis ‘Asyar Al-Hijri Fi Al-‘Alam
Al-‘Arabi Wa Al-Islami, Natsr Al-Jawahir Fi Ulama Al-Qorn Al-Rabi’ ‘asyar,
A’lamul makkiyin Min Al-Qorn Al-Tasi’ Ila Al-Qorn Al-Robi’ Asyara Al-Hijri,
Al-Mubtada Wa Al-Khabar Li Ulama Fi Al-Qorn Al-Rabi’ ‘Asyar Wa Ba’dli
Talamidzihim, Al-Dlou Al-Lami’ Li Ahli Alqorni Altasi’, Al-A’lam Qomus
Tarajim Li Asyhar Al-Rijal Wa Al-Nisa’ Min Al-‘Arab Wa Al-Almusta’ribin Wa
Al-Mustasyriqin, Fahros Al-Faharis Wa Al-Astbat Wa Mu’jam Al-Ma’ajim Wa
Al-Masyihot Wa Al-Musalsala, Faidl Al-Malik Al-Wahhab Al-Muta’ali Bi Anba’
Awail Al-Qorn Al-Tsalis ‘Asyar Wa Al-Tawali, Akhbar Makkah Fi Qodim Al-Dahr Wa
Hadisihi, dan kitab-kitab lainnya.
Berikut para penerus jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci pada abad ke-19-20 M:
1.
Muhammad Mahfud Al-Tarmasi Al-Jawi Al-Makki (1285-1338 H/
1889-1920 M)
3.
Abdul Haq Al-Jawi Al-makki (1285-1324 H / 1869—1907 M)
4.
Arsyad Ibn As’ad Ibn Mushthofa Ibn As’ad Al-Thowil
Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki (1255-1353 H/ 1840-1935 M).
5.
Muhammad Arif Ibn Muhammad Wasi’ Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki
Al-Syafi’i (1285-1348 H/ 1889-1940 M).
6.
Muhammad Saleh Darat al-jawi (1235 H/1820 M- 1321 H/ 1903 M)
7.
Muhammad Khalil bin Abdul Lathif (lahir 1235 H/1820 M)
8.
Ali Ibn Abdullah Ibn Mahmud Ibn Muhammad Arsyad Ibn Abdullah
Al-Banjari Al-Indonisiy Al-Makki Al-Syafi’i (1285-1370 H / 1889-1951 ).
9.
Abu Bakar Ibn Syihab Ibn Abdurrahman Ibn Abdillah Tambusi
Al-Jawi Al-Syafi’i (1280-1359 H/ 1864-1940 M).
10.
Utsman Ibn Abdillah Al-Tambusi (….-1369 H/ ….-1950 M).
11.
Muhammad Ahid Ibn Muhammad Idris Ibn Abi Bakar Ibn Tubagus
Mushthofa Al-Bakri Al-Bughuri Al-Makki (1302-1372 H / 1885-1953 M).
12.
Baqir Ibn Muhammad Nur Ibn Fadli Ibn Ibrahim Ibn Ahmad
Al-Jogjawi Al-Syafi’i Al-Indonisiy Al-Makki (1306-1363 H/ 1889-1944 M).
13.
Muhammad Hasyim Asy’ari Al-Jombani Al-Jawi (1228-1366 H/
1875-1947 M).
14.
Ahmad Ibn Abdul Lathif Ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz Al-Khotib
Al-Minakabawi Al-Jawi Al-Makki 1276-1334 H/ 1860-1916 M.
15.
Muhammad Mukhtar Ibn ‘Athorid Al-Bughuri Al-Jawi Al-Batawi
Al-Makki Al-Syafi’i (1278-1349 H/ 1862-1931 M).
16.
Ahmad Ibn Ahmad Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman Al-Marzuqi
Al-Batawi (1292 – 1353 H/ 1875-1935 M)
17.
Mansur Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Al-Batawi Al-Jakartawi
Al-Syafi’i (1295-1387 H).
18.
Abdul Ghoni Al-Bimawi Aljawi (…-1270 H/ ….-1854 M).
19.
Marzuqi Al-Jawi Al-Syafi’i (…..- 1332 H/ …..-1914 M).
20.
Sholih Ruwah Al-Syafi’i (….-1270 H/ ….-1854)
21.
Baidlowi Ibn Abdul Aziz Ibn Baidlawi Ibn Abdul Lathif
Al-Andunisia Al-Lasemi Al-Syafi’i (…- 1390 H/ ….-1970 M).
22.
Ali Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Ali Kudus Al-Samarani
Al-Syafi’i Al-Makki.
23.
Abdul Qodir Al-Mandili Al-Jawi Al-Syafi’i (…. – 1352 H/
….-1933 M).
24.
Ismail Ibn Abdullah Al-Minakabawi Al-Naqsyabandi Al-Kholidi
Al-Jawi ( …. - 1280 H/ ….- 1863 M).
25.
Muhammad Azhari Ibn Ismail Ibn Abdullah Al-Kholidi
Al-Minakabawi Al-Makki
26.
Muhammad Nur Ibn Ismail Ibn Muhammad Azhari Ibn Ismail Ibn
Abdullah Al-Minakabawi Al-Naqsyabandi Al-Kholidi Al-Jawi (…..-1313 H/ ….-1896)
.
27.
Abdullah Ibn Azhari Ibn ‘Asyiq Aldin Muhammad Ibn Shofiyudin
Al-‘Alawi Al-Husaini Al-Falambani (1279 – 1357 H/ 1863-1939 M).
28.
Ahmad Nahrawi Al-Jawi (…. – 1346 H/ ….-1927 M).
29.
Muhammad Ibn Umar Sumbawi Al-Jawi Al-Makki.
30.
Muhammad Ibn Abdul Ghoni Ibn Abdurrahman Al-Falambani
Al-Jawi
31.
Wahyudin Ibn Abdul Ghoni Ibn Sa’adullah Al-Falambani
Al-Syafi’i
32.
Ahmad Ibn Abdul Ghoffar Ibn Abdullah Ibn Muhammad Sambas
(1217-1289 H / 1802-1872 M)
33.
Sayyid Muhsin Ali Ibn Abdurrahman Al-Musawa (Pendiri
Madrasah Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah Di Makkah) ( 1323-1354 H / 1905-1935 M).
34.
Zain Ibn Badawi Al-Sumbawi
35.
Muhsin Al-Sairami Al-Bantani (Serang Banten 1277-1359)
36.
Ali Ibn Abdullah Al-Banjari
37.
Sayyid Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Zai Al-‘Abidin Ibn
Husain Ibn Musthofa Al-‘Idrus.
38.
Muhsin Ibn Muhammad Banhasan Al-Surabawi (1316-1366 H)
39.
KH. Abdul Mukhith Ibn Ya’qub Ibn Panji Al-Jawi Al-Makki
(Panji, Surabaya)
40.
Hasan Musthofa Garut Al-Jawi,.
41.
Muhammad Syadzili Al-Jawi (1290-….H/ 1973-…. M),
42.
Ali Ibn Abdul Qodir Kudus Al-Syafi’i (W. 1272 H/ 1855 M).
43.
Syaikh Junaid Al-Jawi
44.
Abdussyakur Ibn Abdul Jalil Al-Jawi
45.
Jami’ Ibn Abdurrasyid Al-Rifa’i Al-Buqisi (1255-1361 H)
46.
Syaikh Al-Sya’ri Ibn Abdurrahman Al-Jawi Al-Makki
47.
Abdul Aziz Ibn Abdul Wahhab Ibn Sholih Al-Bunquri
Al-Indonisiy Al-Makki. (1297-1353 H)
48.
As’ad Syamsul Arifin Sitobondo (Makkah, 1897 – situbondo, 4
agustus 1990).
49.
Sulaiman Al-Rasuli (1871-1970 M).
50.
Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M)
51.
Syaikh Muhammad Jamil Jambek (1860-1947 M).
52.
Muhammad Yasin Ibn Muhammad Isa Alfadani Al-Makki / Abu
Al-Faid Alamuddin (W. 28 Dzul Hijjah Tahun 1410 H/ 1990 M).
53.
Muhammad Mukhtaruddin Ibn Zainal Abidin Al-Falimbani Al-Jawi
Al-Makki Al-Syafi’i (W. 1411)
Data diatas merupakan bukti bahwa,
abad ke-19-20 M adalah abad keemasan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci. Mereka banyak melahirkan murid dan
karya tulis. Tetapi sangat disayangkan kebanyakan karya mereka, masih
berupa manuskrip dan sedikit yang sudah diterbitkan. Diantara ulama Tanah Jawa di Tanah Suci yang dikenal dan Masyhur dengan banyaknya karya mereka
antara lain, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syaikh Muktar ‘Athorid
Al-Bughuri, Syaikh Muhammad Mahfud Al-Tarmasi, Syaikh Khotib Al-Minakabawi,
Mansur Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Al-Batawi, Syaikh Sayyid Muhsin Ali
Al-Musawa, Dan Syaikh Muhammad Yasin Al-Padani. Dan nama terakhir adalah ulama Tanah Jawa terakhir yang berkiprah di Tanah Suci atau yang menjadi guru besar di Masjidil Haram. Sangat disayangkan, setelah
meninggalnya Syaikh
Muhammad Yasin Al-Fadani, belum ada lagi ulama Tanah Jawa / Indonesia yang menjadi ulama Tanah Suci, yang bersinar namanya di
seluruh penjuru alam islami.
Umar Abdul Jabbar, penulis kitab Siar Wa Tarajim mengatakan, “orang sekarang
belum memperoleh apa yang telah mereka dapatkan yaitu ilmu yang melimpah ruah
dan luas, terlebih lagi mereka juga berperan dalam melawan kedholiman dan
orang-orang yang berbuat dholim dengan sikap teguh dan tegas mereka. merekalah
orang-orang yang tidak takut pada celaan orang-orang yang mencela.”
Dari data diatas dapat dibaca bahwa
pemikiran para ulama Tanah Jawa di Tanah Suci sejak abad ke-17-20 M adalah beraqidah Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah Al-‘Asyairoh, dalam bidang fiqih mereka
bermadzhab Syafi’I,
serta tasawuf Sunni.
Hal ini dikuatkan dengan analisa yang dilakukan oleh Mufti Syafi’iyah, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ia mengatakan bahwa, Sekitar
abad ke-19, madzhab Syafi’I adalah madzhab yang paling berpengaruh dan tersebar
di Jazirah Arabia. Dan daerah hijaz adalah pusatnya. Bahkan mayoritas para ulama dan pencari
ilmu adalah bermadzhab Syafi’i.”
Begitu juga, jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci yang sudah dimulai sejak abad
ke-17 sampai dengan abad ke-20 adalah bukti bahwa Tanah Jawa (Indonesia) mampu melahirkan tokoh-tokoh
hebat yang berperan besar dalam perkembangan intelektual di dunia islam dan
penyebaran agama islam di berbagai belahan dunia. Hari ini mungkin belum ada
ulama indonesia seperti mereka, tetapi sebagai ungkapan optimisme, tidaklah
mustahil akan terlahir kembali dari rahim indonesia para ulama besar yang mampu
melanjutkan jaringan ulama tanah jawa di tanah suci.
KESIMPULAN
Perjalanan Islam masuk ke
Indonesia sejak zaman Khulafaur Rosyidin tepatnya pada masa Khalifah Usman bin Affan. Perkembangan Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari
peran Hijaz (Makkah dan Madinah). Hijaz, sejak zaman zaman Rasulullah
SAW menjadi primadona bagi orang yang ingin
mendalami wahyu dan Hadist an-Nabawi. Penyebaran islam di Indonesia
masuk melaui dua jalur yaitu jalur selatan yang ber mazhab Syafi’i ( Arab, Yaman, Malaka, Indonesia ), dan jalur utara yang ber mazhab Hanafi ( Turki, Persia, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia )
penyebaran islam semakin berhasil khususnya di Pulau Jawa berhasil sejak abad ke 13 oleh Walisongo. Walisongo terdiri dari sembilan wali yaitu Sunan Gresik ( Maulana Malik
Ibrahim), Raden Rahmat ( Sunan Ampel ), Sunan Giri,Sunan Bonang,Sunan
Kudus,Sunan Kalijaga,Suanan Gunung Jati,Sunan Drajat,Sunan Muria.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar