Minggu, 24 Juli 2016

Makalah Perjalanan Aswaja ke Nusantara



PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA
RESUME
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Agama Islam II (Aswaja)
Dosen Pengampu: Nur Rohman, S.Pd., M.Si.
Oleh:
1.      Resty Laila Anjani      151120001634
2.      Annisa Maghfiroh       151120001641
3.      Novi Awwalia F.N       151120001674
4.      Dian Setianingsih        151120001676
           
AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
2016


KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan resuman ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam Resume Materi Kuliah  yang berjudul PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARApenulis bermaksud menjelaskan secara detail tentang materi ini. Adapun tujuan pembuatan resume ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama 2 (Ahlusunnah Wal Jama’ah). Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan resume ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Bapak NUR ROHMAN, S.Pd., M.Si. atasbimbingannya kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Agama Islam II (Ahlussunnah wa al-Jama’ah) dengan baik.
Jepara, 27  Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULAN
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rosyidin tepatnya pada masa Khalifah Usman bin Affan. Penyebaran islam di Indonesia masuk melaui dua jalur yaitu jalur selatan yang ber mazhab Syafi’i ( Arab, Yaman, Malaka, Indonesia ), dan jalur utara yang ber mazhab Hanafi ( Turki, Persia, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia ) penyebaran islam semakin berhasil khususnya di Pulau Jawa berhasil sejak abad ke 13 oleh Walisongo. Dari murid-murid Walisongo secara turun temurun menghasilkan ulama-ulama besar seperti Syekh Yusuf Sulawesi Syaikhuna Khoil Bangkalan ( Madura ). Islam berkembang pesat di Jawa karena jasa para wali tersebut yang mau berjuang dengan sabar dalam mendakwakan dan mengajarkan islam kepada penduduk Jawa. Telaah terhadap Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) sebagai bagian dari kajian keislaman upaya yang mendudukan Aswaja secara ke opersasional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu. Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini sama halnya dengan aliran teologi sebagai dokmah dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya selama kurun waktu berdirinya ( 1926 ) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama.
Materi yang kita bahas :
1.        Awal berdirinya Nahdlatul Ulama
2.         Perjalanan Aswaja ke Nusantara
3.        Jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci pada abad xvii – xx

BAB II
PEMBAHASAN
A.                Awal berdirinya Nahdlatul Ulama
Nahdatul Ulama disingkat NU, yang merupakan suatu  jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia dewasa ini. NU mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam Sunni terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nu dahulu dan kini terutama masih berada di pesantren.
Sebagai latar belakang terbentuknya organisasi NU ini adalah: gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.
1.                  Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU)
Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik atas ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam.
Sementara di Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
Hal-hal tersebut telah membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdhatul  Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran). Kedua organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.
Pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah, yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di Indonesia. Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan yang mendesak. Hasyim As’ari (1871-1947) Kiai dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling disegani-menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua pertamanya atau ro’is akbar.
Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
1.        Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
2.        Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
3.        Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah
4.        Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
5.        Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
6.        Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam
Dari keenam usaha tersebut, hanya satu butir saja yaitu usaha pertanian, perdagangan dan industri yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kaum ulama secara khusus.
Hasil Muktamar XXVII NU di Situbondo pada tahun 1984, melalui sebuah keputusan yang disebut “Khittah Nahdatul Ulama”, menegaskan kembali usaha-usaha tersebut dalam empat butir. Pertama, peningkatan silaturrahmi antar ulama. Kedua, peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan. Ketiga, peningkatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial. Keempat, peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah, mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan-urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’.
Dengan demikian pengaruh ulama sangat besar dalam NU, dan telah mendapat konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya NU adalah Jam’iyyah Diniyyah yang membawakan faham keagamaan, sehingga yang menjadi mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal-jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.
Selanjutnya akan dijelaskan sekilas tentang lambang NU, lambang NU ini dibuat pada tahun 1927. Mempunyai lambang sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad, empat bintang kecil, masing-masing dua disebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan empat khulafa’al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan empat Imam Mazhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga bermakna sembailan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama Islam di jawa. Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan, yaitu bumi, yang kepadanya manusia akan kembali dan dirinya manusia akan kembali dan manusia akan dibangkitkan pada hari pembalasan. Tali kekemasan yang melingkari bumi dengan 99 ikatan melambangkan 99 nama-nama indah Tuhan, yang dengannya seluruh muslim di dunia disatukan.
B.            Perjalanan Aswaja ke Nusantara
1.            Awal perjalanan aswaja
Perkembangan Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran Hijaz (Makkah dan Madinah). Hijaz, sejak zaman Rasulullah SAW menjadi primadona bagi orang yang ingin mendalami wahyu dan Hadist An-Nabawi. Sempat, banyak ilmuwan Islam meninggalkan Hijaz disebabkan karena adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh Hajaj bin Yusuf yang mensyahidkan Abdullah bin Zubair, ulama yang sangat disegani dari sisa-sisa sahabat Rasulullah SAW. Setelah simpuh darah membanjiri Masjidil Haram, banyak ilmuwan Muslim yang pindah menuju Baghdad, Syam dan Mesir serta Yaman. Hingga, ketika situasi Hijaz sudah stabil lagi, ia diserbu para thâlabah yang ingin mencari ilmu dan keberkahan beribadah di Masjidil Haram dan Masjid an-Nabawi yang pahalanya dilipatgandakan sebagaimana yang disabdakan baginda Nabi Muhammad SAW.
Dari Hijaz, terpancarlah sinar Islam hingga menjulang ke seantero dunia, termasuk Nusantara (Indonesia). Indonesia terkena sinar keislaman Hijaz pada abad 1 Hijriyah/ 7 Masehi, yaitu pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Sinar itu semakin bercahaya pada abad 18, 19 dan 20.Banyak ulama asal Nusantara yang mendatangi Hijaz, baik untuk berdagang, menuntut ilmu atau untuk menjalankan ritual ibadah haji. Dari banyaknya animo umat Islam asal Nusantara ini, maka terbentuklah Kampung al-Jawi yang barada di Syami’ah, dekat Pasar Seng.Kampung al-Jawi ini, bukan hanya dihuni oleh bangsa Indonesia, melainkan umat Islam Asia Tenggara, banyak yang bertempat tinggal disana.
Mulanya, umat Islam yang belajar di Hijaz, terutama di Masjidil Haram mendapatkan celaan dan hinaan. Namun, dengan penuh kesabaran mereka tetap semangat untuk selalu belajar dan beristifâdah kepada para Syeikh yang mengajar di Masjidil Haram.Buahnya, Hijaz dibanjiri oleh pengajar dan thâlabah yang datangnya dari Nusantara dari generasi ke generasi.Ulama-ulama dari Nusantara banyak memainkan peranan penting dalam akademik keulamaan. Prestasi mereka banyak yang mengungguli ulama-ulama yang asli orang Arab, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi, Syaikh Mahfudz at-Turmusi, dan Syaikh Yasin Al-Fadani.
26 ulama Aswaja asal Nusantara yang mempunyai prestasi gemilang (seperti menjadi imam, khatib dan pengajar di Masjidil Haram) yang dapat membawa nama baik Nusantara (Indonesia) hingga go internasional. Ulama-ulama tersebut yaitu, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Makki, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh Mahfudz at-Turmusi al-Makki, Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi al-Makki, Syaikh Muhsin al-Musawa al-Palimbani al-Makki, Syaikh Abdullah Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi al-Makki, Syaikh Baqir bin Muhammad Nur al-Jukjawi al-Makki, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, Syaikh Ahmad bin Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Makki, Syaikh Ismail al-Khalidiyah al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Makki, Syaikh Junaid al-Batawi, Syaikh Abdul Karim al-Bantani al-Makki, Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari al-Makki, Syaikh Muhammad  Ahyad bin Muhammad Idris al-Bughuri al-Makki, Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi al-Makki, Syaikh Jinan Muhammad Thayyid al-Sariaki al-Makki, Syaikh Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Makki,  Syaikh Abu Bakar bin Syihabudin at-Tambusi al-Makki, Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi al-Makki, Syaikh Muhammad Zainudin al-Baweani al-Makki, Syaikh Abdul Qadir al-Mindili al-Makki, Syaikh Abdullah bin Hasan al-Jawi al-Makki, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Jawi al-Makki, Syaikh Marzuki al-Jawi al-Makki dan Syaikh Muhammad bin Umar al-Sumbawi al-Makki.
2.            Masuknya agama islam ke Nusantara.
perjalananAswaja di Indonesia dengan membaginya menjadi sembilan fase.
Fase pertama, berbicara Aswaja di Indonesia sama dengan mengurai sejarah Islam di Indonesia. Karena penyebaran Islam di Indonesia sangat terpengaruh oleh kontruksi dunia Islam secara internasional. Beliau mengutip tesis pemikir muslim moderenis dari Mesir, Hasan Hanafi,  ‘Ditengah perkembangan ekonomi diberbagai belahan dunia, yang terjadi akhirnya adalah kekalahan kesalehan sosial dan kemenangan ketidak salehan sosial.’
“Dalam kondisi demikian, orang-orang sufi memiliki peranan sangat penting dalam menjaga dan menyebarkan kemurnian agama. Mereka berkeliling untuk menyebarkan agama Islam dengan mengedepankan rasa daripada nalar. Karekter mengedepankan rasa daripada nalar ini hampir sama dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat Nusantara sehingga ke Islaman yang bercorak sufistik ini mudah diterima dan dipahami oleh penduduk lokal,” terangnya.
Fase kedua, adalah ketika terbentuknya kerajaan Demak pada tahun 1475. Tiga tahun setelah kerajaan Demak berdiri Majapahit runtuh. Pada fase ini ada semacam konflik yang cukup menarik yakni antara dewan wali dengan Syeh Siti.
VOC gagal. Dua tahun kemudian VOC baru berhasil masuk mengunci selat Malaka melalui agresi militer. Dalam kondisi tersebut Aswaja mengalami proses Jenar. Simpulan sederhananya, terjadi pertarungan antara wacana Fiqh dengan Ilmu Kalam,” tandasnya.
Pada saat yang bersamaan, dimulailah fase ketiga yakni dengan kedatangan VOC ke Nusantara. Pada tahun 1509, VOC hendak memasuki selat Malaka. Namun saat melakukan loby dengan penguasa setempat yakni Sultan Mahmud Syah, radikalisasi ketika bertemu dengan realitas sosial.
“Sultan Mahmud Syah adalah tokoh pergerakan pertama dalam melawan penjajah Belanda. Aswaja menjadi kekuatan yang mampu membuat pelakunya tergerak melakukan pemberontakan ketika terjadi gesekan sosial. Hal itu terbukti banyaknya kyai-kyai, ulama’, guru tarekat dan kaum Aswaja yang terlibat dalam pergerakan Nasional. Turun ke medan juang melawan para penjajah hingga Indonesia merdeka 1945,” katanya.
fase keempat. Para aghniya’ di tanah air mulai melakukan ibadah haji. Dalam pelaksanaannya, prosesi haji terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mereka hanya berhaji kemudian pulang. Dan yang kedua adalah mereka yang berhaji kemudian tidak langsung pulang, namun mengaji disana dengan para ulama Timur Tengah. “Disinilah wacana Aswaja Nusantara bersentuhan dengan Islam di Timur Tengah,”.
Fase kelima, adalah gelombang kedua wacana Aswaja Nusantara bertemu dengan Islam Timteng yakni masa KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan ulama-ulama lainnya. Pada fase ini Wahabi sudah muncul di Timteng bahkan sudah masuk Makkah. Para ulama’ Aswaja itu juga bersentuhan dengan pemikiran Rasyid Ridho, Muhammad Abduh namun tidak terpengaruh.
“Sementara ada juga orang Indonesia yang bertemu dengan mereka kemudian membawa pemikiran itu ke Indonesia dan menjadi generasi pertama wahabi Indonesia yang dikenal dengan sebutan kaum modernis. Pada saat itu, di Indonesia juga sudah mulai muncul definisi Aswaja,” terangnya.
Fase keenam, terjadi saat Hindia Belanda memberlakukan politik etis yang salah satunya pointnya adalah edukasi sehingga muncullah sekolah-sekolah di Indonesia pada tahun 1901. Kemudian terjadilah dialog wacana Islam dengan ilmu-ilmu modern. Titik temu itulah yang kemudian merubah wajah ke Islaman di Indonesia. Pengaruh terhadap Muhammadiyah adalah Wahabi serta Islam Modern. “Sebaliknya, di kalangan ulama-ulama Aswaja justru terjadi radikalisasi sessi II yang kemudian melahirkan laskar-laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah yang digerakkan oleh para santri dan kyai,” tandasnya.
Fase tujuh adalah ketika sudah berdiri organisasi NU. Indonesia dibukalah sekolah-sekolah secara massif di Indonesia. Aswaja ala NU ketika berdialektika dengan ilmu-ilmu sosial yang diajarkan di sekolah-sekolah berpengaruh cukup besar terhadap modernisasi di tubuh NU.
Fase kedelapan, adalah ketika tahun 1990 beredar di Indonesia Ilmu sosial kritis yang bertemu dengan Aswaja, maka melahirkan Islam Konservatif. Aswaja menjadi landasan sosial yang kemudian secara bersamaan berpengaruh terjadinya liberasi ditubuh NU khususnya di kalangan anak mudanya. Nah, proses liberasi di NU ini mendorong tradisi taqlid qouli menjadi manhaji. Dari fiqh menjadi usul fiqh. Di level ilmu kalam, Aswaja tidak lagi menjadi aqwal tapi sebagai manhajul fikr.
fase kesembilan adalah pasca Aswaja dijadikan sebagai Manhajul Fikr sehingga liberalisasi di NU dianggap semakin mengkhawatirkan para kyai NU. Para kyai kemudian merumuskan Attasfiyah atau pemurnian NU dari Syiah, Wahabi, JIL dan lain sebagainya. Dengan attasfiyah ini kemudian Aswaja mengalami pergeseran dari manhajul fikr ke manhajul harakah. “Aswaja sebagai Manhajul harakah ini disyarakatkan pertama adalah sumber pengetahuan. Diantaranya, dalil wahyu, dalil aql, dalil waqi’ (pengalaman/empiris), dalil adat serta dalil irfani (ilham/ ru’yah shodiqoh),” tandasnya.
Setelah sumber pengetahuan, syarat keduaadalah basis ideologi. Gerakan atau organisasi apapun akan patah kalau tidak memiliki ideologi
Syarat ketiga bagaimana aswaja sebagai manhajul harakah diimplementasikan adalah adanya prinsip gerakan. Gerakan berorganisasi ala aswaja ini mirip-mirip dengan baris berbaris. Prinsip gerakan ini adalah hukum dialektika supaya pergerakannya menjadi luwes. Mengakrabi zaman.
Syarat keempat bagaimana aswaja diimplementasikan sebagai manhajul harakah adalah dengan adanya strategi gerakan. Rumusnya adalah pribumisasi, nasionalisasi, konservasi, revitalisasi dan dinamisasi.
Syarat kelima adalah tahapan gerakan. Ini adalah tahapan terakhir. “Kita harus memiliki rumusan setiap fase harakah yang akan kita lalui.
3.Masuknya Agama Islam di Tanah Jawa
Mula-mula islam masuk ke indonesia di bawah oleh para pedagang dan para sifi muslim yang datang dari Gujarat tidak hanya melakukan jual beli namun untuk menyiarkan agama islam. Biasanya pada waktu senggang mereka berdakwah seperti melakukan ibadah sholat pada waktu sebelum dan sesudah sholat mereka melaksanakan satu kewajiban untuk mensyiarkan ajaran islam kepada orang yang bertemu dengannya dan belum masuk islam. Salah satu wali yang berasal dari Gujarat adalah maulana malik Ibrahim yang wafat pada tahun 822-1419 M. Makamnya terdapat di gresik, diduga juga bersasal dari gambai negeri Gujarat. Diketahui dari keterangan yang terdapat di batu nisannya bertulis huruf arab. Dari keterangan batu nisan tersebut memperkirakan penjelasan pertama maulana malik Ibrahim itu hidup hingga tahun 822 hijriyah atau 1419 M. ia menyebarkan agama islam di jawa khususnya jawa timur sasaran dakwahnya para sultan, menteri, rakyat yang fakir dan miskin. Berkat jasanya agama islam yang menjadi agama yang di peluk oleh kebanyakan penduduk di jawa. Dalam menyebarkan agama islam berlangsung dalam Suasana yang damai dan bijaksana tanpa pertumpahan darah atau kekerasan. Sebab-sebab yang membawa islam dapat disebar kan didalam suasana yang damai sebagai berikut ;
1.      Penyiar-penyiar islam bermula terdiri dari para pedagang dan para wali.
2.      Metode penyampian dakwah islam sudah sejalan dengan ajaran al-qur’an. Yaitu, islam supaya disampaikan secara hikmah ( bijaksana ) dengan memberikan pengajaran yang baik dan cara bertukar pikiran sebaik-baiknya.
3.      Kebijaksanaan para mubalig yang datang telah dapat menyelami dan memahami watak bangsa Indonesia.
Periode penyebaran dan penyiaran agama islam di jawa ;
1.      Periode Gresik 
Periode yang berupa penyampian ajaran-ajaran islam kepada masyarakat luas dan mempergiat pembentukan kader-kader. Pembentukan kader berlangsung dalam suatu pusat pembinaan yang di sebut madrasah dan pondok pesantren.Islam pada periode ini sudah di kenal secara luas oleh masyarakat. Madrasah dan pesantren dijadikan tempat memperkokoh keyakinan kebenaran agama islam kepada orang yang baru masuk islam.
2.      Periode Demak
Periode yang dengan segala tenaga dan fikiran telah dicurahkan untuk menyusun kekuata dan kekuasaan.Sudah diarahkan kepada peningkatan prestasinya dalam bidang politik dan kekuasaan.Masing-masing periode berlangsung dalam waktu yang cukup lama.Dalam arti disampaikan kepada masyarakat luas membutuhkan waktu sampai puluhan tahun.
Wali di Indonesia banyak jumlahnya namun yang dikenal hanya walisongo yaitu ;
1.      Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim)
Dikenal dengan beberapa nama yaitu Maulana Maghribi, Syekh Maghribi dan Sunan Gresik. Keturunan dari Zainul Abidin bin Sayyidinah Hasan bin Sayyidinah Ali bin Abi Thalib menantu Nabi Muhammad saw. Beliau di perkirakan lahir sekitar tahun 720 hijriyah atau 1350 M. Maulana Malik Ibrahim datang ke Indonesia pada tahun 720 atau 1379 dengan bertujuan untuk mengislamkan raja majapahit dan masyarakat pada waktu itu yang bernama Prabu Hayam Wuruk. Diterima dengan baik selayaknya tamu kerajaan.
Maulana Malik Ibrahim mengambil daerah Jawa Timur yaitu daerah Gresik untuk menetap dan mengembangkan agama islam. Langkah awal dia ikut berbaur bersama-sama mesyarakat untuk berdagang. Sedikit demi sedikit mengenal banyak orang, memperkenalkan agama islam khususnya kepada masyarakat pedagang. Ada tiga cara berdakwah ; (1) memperkenalkan diri dan mengenal lingkungan,(2) mulai mengenalkan ajaran islam,(3) mengajak masyarakat untuk masuk islam. Dengan pendekatan seperti itulah ia mendapat simpati dari masyarakat. Setelah kurang lebih 4 tahun mengembangkan ajaran islam pada akhirnya beliau wafat pada tanggal 12 rabiul awal 882 hijriyah di makamkan dipemakaman gapura wetan gresik jawa timur.
2.      Raden Rahmat ( Sunan Ampel )
Lahir di Campa daerah Aceh pulau Sumatra pada tahun 753 hijriyah atau 1401 M. ketika berusia 20 tahun ia diperintahkan pergi ke Majapahit membawa amanah mengislamkan raja Majapahit yang masih saudara sepupuhnya. Dalam perjalanan beliau singgah di Palembang yang dipimpin oleh Adipati Arya Damar. Setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Majapahit sesampainya di majapahit ia mengajak raja Majapahit untuk msuk islam sekalipun tidak mau masuk islam namun raden rahmat di teriam dengan baik dan diberi izin untuk menyebarkan agama islam. Di Ampel Denta mendirikan pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan sebagai tempat berdakwah. Diantara mereka adalah Raden Paku ( Sunan Giri ) Maulana Ishak yang berhasil mengislamkan Raja Blambangan, Raden Maulana, Makhdun Ibrahim ( Sunan Bonang ), Syarifudin ( Sunan Drajat ), Patah yang menjadi Sultan pertama di Demak. Ia juga menjadi penasehat kerajaan islam dan juga membangun masjid Demak tahun 1479 M. Semasa hidupnya Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tumegung Arya Teja bernama Nyai Ageng Manila. Mempunyai tiga anak yaitu Makdum Ibrahim ( Sunan Bonang ), Syarifudin ( Sunan Drajat ), Nyai Gede Maliha ( istri Sunan Giri ).
3.      Sunan Giri
Salah satu seorang Wali Songo yang hidup pada abad ke-15 Masehi. Nama aslinya adalah Raden Paku ada juga menyebut Prabu Samata, atau Sultan Abdul Faqih. jadi Sunan Giri memiliki 3 nama. Ayahnya bernama Maulana Ishak berasal dari Blambangan Jawa Timur. Dalam upaya memperoleh ilmu agama, Sunan Giri berusaha tekun belajar, mula-mula memperoleh dari ayahnya, kemudian belajar kepada Sunan Ampel, serta belajar dari beberapa ulama di daerah Pasai dan tanah suci Mekkah. Raden Paku mendapat gelar dengan sebutan Sunan Giri. Terkenal sangat alim dan terhormat di kalangan masyarakat. Memiliki banyak murid dan juga sering member nasihat kepada para raja di kerajaan islam Demak.
4.      Sunan Bonang
Lahir pada tahun 859H/1465 M. di Desa Ampel Denta Surabaya. Ia mendapatkan pendidikan pertama kali oleh orang tuannya yang bernama Sunan Ampel. Setelah beranjak dewasa beliau dikirim orang tuannya bersama Raden Paku untuk belajar ke Pasai (Aceh) dan selanjutnya ke Mekkah (untuk menunaikan ibadah haji)
Setelah beberapa tahun beliau kembali ketanah air dan mengembangkan ajaran islam ke pada masyarakat Jawa Timur khususnya daerah Tuban. Ia juga mendirikan pondok pesantren sebagai tempat pendidikan bagi orang yang hendak menuntut ilmu, selanjutnya mendirikan masjid untuk santri-santrinya.
Sunan Bonang juga dikenal dengan pencipta gending (lagu) pertama yang digunakan untuk mengembangkan ajaran islam di Pesisir Utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Para wali memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai alat dakwah. Dalam syair lagu tersebut berisi pesan tauhid (ke esaan Allah). Sunan Bonang wafat pada tahun 930 H/1525 M dalam usia 60 tahun ia dimakamkan di daerah Tuban.
5.      Sunan Kudus
Syekh Ja’far Shodiq nama aslinya adalah Amir Haji Putera Raden Usman Haji. Ia hidup sekitar abad 16 (1550). Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhil Putri Sunan Bonang dan dikaruniai seorang putra bernama Amir Hasan. Sedangkan pernikahanya dengan putri Adipati Tenung  (nama tempat) dari Majapahit  Sunan Kudus di karuniai 8 putera yaitu : Nyai Ageng Pembayung, penambahan Palembang, penambahan makaos Ronggo Kusumo, Pangeran Kodi, pangeran Karimun, pangeran Sujoko, Ratu Pakoja, Ratu Parada Binabar yang kemudian menikah dengan pangeran ponco wati (panglima perangnya Sunan Kudus).
Pada masa mudanya beliau pernah sebagai panglima perang kerajaan Demak. Ia mengajarkan agama islam disekitar daerah Kudus dan Jawa Tengah pesisir pantai utara. Ia juga kreatif mengarang cerita-cerita pendek diantaranya adalah gending maskumambang
Diantara peninggalan adalah masjid menara Kudus yang masih berdiri megah sampai sekarang dan memiliki nilai sejarah. makamnya berada dibelakang masjid menara Kudus Jawa Tengah.
6.      Suana Kalijaga
Memiliki 5 kelebihan utama yaitu pandai, berjiwa besar, toleran, berpandangan tajam, budayawan, seniman, serta pujangga. Ia berasal dari Suku Jawa asli.
Sa’at masa remaja beliau sangat nakal sekali,sehingga diusir oleh orang tuannya, julukannya adalah lokajaya, karena kesaktiannya yang sukar ditandingi. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid putra Raden Sahur Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban dan ibunya bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishak dan memperoleh tiga orang putra. pekerjaan yang ia sukai adalah merampok dan menyamun, dia sangat ditakuti namun ada seorang yang sanggup mengalahkan beliau adalah Sunan Bonang, karena kesanggupan beliau mengalahkannya, Sunan Kalijaga berniat ingin menjadi muridnya, tetapi dengan satu syarat yaitu menjaga tongkat yang ditancapkan di tepi sungai. Sunan Kalijaga dengan setia menjaga dan mentaati janjinya menjaga tongkat gurunya. Berawal dari kisah tersebut mendapat sebutan Kalijaga  maksudnya adalah Sunan penjaga tongkat, dan juga mendapat sebutan yaitu Syekh Malaya (berdakwah samabil berkelana).
7.      Sunan Gunung Jati
Memiliki banyak nama, yaitu Syarif Hidayatullah, Syekh Nurullah, Muhammad Nuruddin, Sayid Kamil, Syekh Mazkurullah, Makhdum Jati, dan Maulana Israil. Pada masa kepemimpinanya beliau berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan atau lepas dari kekuasaan Padjajaran.Sunan Gunung Jati menaklukaan daerah Sunda Kelapa dengan bantuan pangliam Falatehah atau Fatahillah.
Pertemuan tersebut dilatar belakangi oleh peristiwa dikalahkanya pasai oleh Portugis pada tahun 1521 M. Sunan Gunung Jati dan Fatahillah memiliki kesamaan yaitu menyebarkan dan memperluas wilayah islam. Fatahillah yang besar jasanya dalam menyebarkan ajaran islam wafat pada tahun 1750 M di usai yang sudah lebih dari 80 tahun.
8.      Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Syarifudin, sering disebut Raden Qosim ia purta Sunan Ampel dengan Candrawati. Sudah memiliki ilmu dari Ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah disebelah Barat Kota Gresik, yaitu daerah yang kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik. Raden Qosim melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Gresik sebelumnya singgah di tempat Sunan Giri.dalam perjalanannya ke arah Barat, perahunya tiba-tiba dihantam omba besar namun nyawan Sunan Drajat selamt karena ditolong oleh ikan talang yang besar karena jasanya Sunan Drajat melarang kepada turunanya untuk memakan ikan talang , apa bila dilarang akan terjadi sebuah penyakit yang tidak akan ada obatnya. Setelah sampai dipinggir pantai dan ternyata masuk wilayah desa Jelag didesa tersebut beliau mendirikan pesantren. Setelah satu tahun  di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju kearah selatan disana beliau mendirikan  suara untuk berdakwah.
9.      Sunan Muria
Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Kemudian banyak dipanggil dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Daerah operasi penyiaran islamnya berada disekitar Gunung Muria, yaitu sekitar 18 km, sebelah Utara kota Kudus. Ia diperkirakan lahir sekitar abad ke-15 dan wafat pada abad ke-16. Menurut suatu sumber, ia adalah putera Sunan Kalijaga dan ibunya bernama Dewi Saroh.
Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus. Ia memperoleh putera bernama Pangeran Santri.
Dalam kegiatan dakwahnya, Sunan Muria termasuk wali yang memutuskan untuk memindahkan pesantren Ampel Denta sepeninggal Sunan Ampel. Yaitu, pesantren Ampel Denta dipindah ke Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
Sunan Muria disebut - sebut sebagai wali yang rajin berdakwah. Dakwahnya memasuki wilayah pelosok-pelosok perdesaan dan gunung-gunung serta bergaul dengan rakyat jelata.Inilah yang menjadi ciri khas yang dimiliki oleh Sunan Muria. Dalam berdakawah, ia memakai sarana yang menarik, yaitu dibuat seperti sebuah pertunjukan yang bisa di tonton, dan dari tontonan tersebut bisa dijadikan tuntunan. Misalnya seperti melalui gamelan, wayang dan tembang.
Dari kreasinya, Sunan Muria telah menciptakan tembang macapat, yakni ‘sinom’ dan ‘kinanti’.Tembang sinom umumnya dugunakan untuk melukiskan suasana ramah tamah dan nasihat. Setiap baitnya terdiri dari 9 baris dengan guru wilangan dan guru swara sebagai berikut: 8/a. 8/i, 8/a, 8/i, 7/i, 8/u, 7/a, 8/i, 12/a.
Sedangkan tembang kinanti bernadakan gembira atau kasih sayang. Tetapi ia juga dipakai untuk mengajarkan keagamaan, nasihat dan filsafat hidup. Setiap baitnya terdiri enam baris dengan guru wilangan dan guru swara sebagai berikut: 8/u, 8/i, 8/a, 8/a.
Akhirnya, Sunan Muria wafat di Muria.Makamnya berada di puncak gunung dengan memakai tangga ratusan jumlahnya. Kini, makam itu ramai di kunjungi penziarahan, terutama pada hari jum’at pahing.
C.          JARINGAN ULAMA TANAH JAWA DI TANAH SUCI ABAD XVII – XX
1.            Hubungan Tanah Jawa Dengan Tanah Suci
Hubungan antara tanah Jawa (Nusantara) dengan dunia Timur Tengah sebenarnya telah terjadi jauh sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW. Hubungan antara nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang. Azyumardi Azra mengatakan bahwa Kontak paling awal antara kedua wilayah ini, khususnya perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia dan Saba. Hubungan ini berlangsung hingga masa setelah munculnya islam. Sejak abad ke-7 M atau abad pertama hijriyah, nusantara sudah membangun hubungan dengan Timur Tengah baik dalam bidang ekonomi, politik dan religi. Hubungan ini semakin kuat pada  abad ke-16. Terlihat dengan adanya kerjasama antara kesultanan Aceh dengan dinasti ustmani. Lebih lanjut, Azyurmadi mengatakan, untuk menyimpulkan hubungan-hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara sejak kebangkitan islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek-aspek lebih luas. Muslim arab dan Persia, apakah pedagang atau pengembaara Sufi, mulai mengintensifikasikan penyebaran islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat.
Tahap ketiga adalah sejak abad ke -16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politik di samping keagamaan tadi. Di antara faktor terpenting di balik perkembangan ini adalah kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuasaan Portugis dengan dinasti Utsmani di kawasan Lautan India. Menjelang paruh kedua abad ke-17, hubungan-hubungan keagamaan dan politik juga dijalin dnegan para penguasa haramayn. Dalam periode ini, muslim nusantara semakin banyak ke Tanah Suci, yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid jawi.
2.            Jaringan Ulama Tanah Jawa Di Tanah Suci
Keterlibatan ulama tanah dalam jaringan ulama Tanah Suci sudah ada sejak abad ke-17. Jejak mereka terekam dan ditulis oleh para ulama isnad dan sejarawan arab yang menulis tentang biografi para tokoh dunia Arab, terutama tokoh Tanah Suci. Hal ini dikuatkan dengan analisa yang dilakukan Azyumardi Azra, dia mengungkap jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad ke-17-18 dari berbagai sumber Arab dan orientalis. Kemudian masa berikutnya yaitu abad ke-19-20 merupakan masa keemasan para ulama tanah Jawa di Tanah Suci, karena kuantitas mereka yang sangat banyak dan kualitas keilmuan mereka menjadi sandaran ulama Tanah Suci lainnya. Berikut jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci yang dimulai sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 M.
a.             Ulama Tanah Jawa Di Tanah Suci Abad Ke-17
Di dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, Prof. Azyumardi Azra menyatakan bahwa para perintis ulama tanah Jawa di Tanah Suci dimulai pada abad ke-17.Sebagai perintisnya adalah Nuruddin Al-raniri (w. 1068/1658), Abdurrauf Al-Sinkili (1024-1105/1615-1693), dan Muhammad Yusuf bin Abdullah abu Al-Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Maqassari (1037-1111/1627-99). Antara Al-Raniri dan Al-Sinkili mempunyai kedekatan hubungan Karena mereka bersahabat dan belajar bersama dengan, antara lain, Al-Qusyasyi dan Al-Kurani. Sedang Al-Maqassari dengan Al-Raniri mempunyai hubungan guru dan murid, serta ia juga belajar kepada gurunya Al-Raniri.
b.            Ulama tanah jawa di Tanah Suci abad ke-18 M
Memasuki abad ke-18, jaringan ulama tanah jawa di Tanah Suci dilanjutkan oleh para tokoh yang banyak mempunyai pengaruh baik di tanah jawa maupun di Tanah Suci. Nama mereka juga dikenal oleh para ulama Tanah Suci dan banyak terdaftar di buku-buku biografi tokoh Arab. Ulama Melayu (Jawa) yang terlibat dalam jaringan ulama abad ke-18 itu, mempunyai hubungan dan koneksi yang dapat dilacak dengan jaringan ulama pada masa sebelumnya. Mereka memang tidak mempunyai hubungan langsung guru-murid dengan para perintis Melayu - Indonesia, yaitu Al-Raniri, Al-Sinkili dan Al-Maqassari, tetapi guru-guru mereka di Makkah dan Madinah termasuk tokoh-tokoh terkemuka dari jaringan ulama pada masa mereka. guru-guru itu mempunyai hubungan langsung dengan para ulama sebelumnya, dengan siapa ketiga ulama jawi abad ke-17 juga berkaitan. Lebih-lebih lagi, para ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-18 tahu benar tentang ajaran-ajaran ketiga perintis tersebut, dan mereka menjalin hubungan intelektual dengan mereka dengan jalan mengacu pada karya-karya mereka.
Diantara ulama tanah jawa yang meneruskan jaringan ulama di Tanah Suci adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syaikh Abdus Samad Al-Falambani, Abdul Wahab Bugis, dan Syaikh Abdurrahman Al-Mashri. Keempat sahabat ini dikenal dengan sebutan Empat Serangkai Dari Jawa.
Hal ini dikuatkan oleh Azyumardi Azra, dia mengatakan : “Ada beberapa ulama utama Melayu-Indonesia yang berasal dari berbagai wilayah dan kelompok etnis di Nusantara pada periode abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Sebagaian mereka datang dari wilayah Palembang di Sumatera Selatan. Yang paling penting di antara mereka adalah Syihab Al-Din Ibn Abdulllah Muhammad, Kemas Fakhr Al-Din, Abdusshamad Al-Palimbani, Kemas Muhammad Ibn Ahmad, Dan Muhammad Muhyiddin Bin Syihabuddin. Selanjutnya adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis Al-Banjari Dari Kalimantan Selatan, Abdulwahhab Al-Bugisi dari Sulawesi, dan Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi dari Jakarta, Dan Dawud Ibn Abdullah Al-Fatani Dai Wilayah Patani, Thailand Selatan. Meski informasi mengenai sebagian di antara para ulama ini sangat minim, karier dan ajaran mereka menjelaskan bahwa mereka terlibat baik secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama. Jika digabungkan, mereka merupakan para ulama paling penting di nusantara pada abad ke-18.
c.             Ulama Tanah Jawa di Tanah Suci abad ke-19-20 M
Memasuki penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, semakin banyak ulama Tanah Jawa yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab.  Dan banyak dari mereka yang setelah mendapat ijazah (sertifikasi), mereka mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan peran mereka di Tanah Suci sebagai penerus jaringan ulama Tanah Jawa yang telah dirintis pada oleh para ulama Tanah Jawa sebelumnya.
Mungkin boleh dikatakan bahwa pada masa tersebut adalah masa keemasan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci, karena kuantitas/jumlah mereka yang begitu banyak, disertai kualitas keluasan ilmu mereka yang melahirkan ribuan ulama besar dan ratusan karya tulis sebagai perkembangan intelektual di Tanah Suci. Keadaan seperti ini tidak ada pada masa sebelum dan sesudahnya. Setidaknya ada beberapa data yang membantu analisa dalam mengungkap para ulama Tanah Jawa yang menjadi guru besar / ulama Tanah Suci, Masjidil Haram, seperti buku Siyar Wa Tarajim Ba’dli Ulamaina Fi Alqorni Alrobi’ ‘Asyar Li Alhijrah, Mausu’ah A’lam Al-Qorn Al-Rabi’ ‘Asyar Wa Al-Khomis ‘Asyar Al-Hijri Fi Al-‘Alam Al-‘Arabi Wa Al-Islami, Natsr Al-Jawahir Fi Ulama Al-Qorn Al-Rabi’ ‘asyar, A’lamul makkiyin Min Al-Qorn Al-Tasi’ Ila Al-Qorn Al-Robi’ Asyara Al-Hijri, Al-Mubtada Wa Al-Khabar Li Ulama Fi Al-Qorn Al-Rabi’ ‘Asyar Wa Ba’dli Talamidzihim, Al-Dlou Al-Lami’ Li Ahli Alqorni Altasi’, Al-A’lam Qomus Tarajim Li Asyhar Al-Rijal Wa Al-Nisa’ Min Al-‘Arab Wa Al-Almusta’ribin Wa Al-Mustasyriqin, Fahros Al-Faharis Wa Al-Astbat Wa Mu’jam Al-Ma’ajim Wa Al-Masyihot Wa Al-Musalsala, Faidl Al-Malik Al-Wahhab Al-Muta’ali Bi Anba’ Awail Al-Qorn Al-Tsalis ‘Asyar Wa Al-Tawali, Akhbar Makkah Fi Qodim Al-Dahr Wa Hadisihi, dan kitab-kitab lainnya.
Berikut para penerus jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci pada abad ke-19-20 M:
1.            Muhammad Mahfud Al-Tarmasi Al-Jawi Al-Makki (1285-1338 H/ 1889-1920 M)
2.            Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Ibn Umar Ibn Ali Ibn ‘Arabi Al-Syafi’i Al-Makki (1230-1314 H)
3.            Abdul Haq Al-Jawi Al-makki (1285-1324 H / 1869—1907 M)
4.            Arsyad Ibn As’ad Ibn Mushthofa Ibn As’ad Al-Thowil Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki (1255-1353 H/ 1840-1935 M).
5.            Muhammad Arif Ibn Muhammad Wasi’ Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki Al-Syafi’i (1285-1348 H/ 1889-1940 M).
6.            Muhammad Saleh Darat al-jawi (1235 H/1820 M- 1321 H/ 1903 M)
7.            Muhammad Khalil bin Abdul Lathif (lahir 1235 H/1820 M)
8.            Ali Ibn Abdullah Ibn Mahmud Ibn Muhammad Arsyad Ibn Abdullah Al-Banjari Al-Indonisiy Al-Makki Al-Syafi’i (1285-1370 H / 1889-1951 ).
9.            Abu Bakar Ibn Syihab Ibn Abdurrahman Ibn Abdillah Tambusi Al-Jawi Al-Syafi’i (1280-1359 H/ 1864-1940 M).
10.        Utsman Ibn Abdillah Al-Tambusi (….-1369  H/ ….-1950 M).
11.        Muhammad Ahid Ibn Muhammad Idris Ibn Abi Bakar Ibn Tubagus Mushthofa Al-Bakri Al-Bughuri Al-Makki (1302-1372 H / 1885-1953 M).
12.        Baqir Ibn Muhammad Nur Ibn Fadli Ibn Ibrahim Ibn Ahmad Al-Jogjawi Al-Syafi’i Al-Indonisiy Al-Makki (1306-1363 H/ 1889-1944 M).
13.        Muhammad Hasyim Asy’ari Al-Jombani Al-Jawi (1228-1366 H/ 1875-1947 M).
14.        Ahmad Ibn Abdul Lathif Ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz Al-Khotib Al-Minakabawi Al-Jawi Al-Makki 1276-1334 H/ 1860-1916 M.
15.        Muhammad Mukhtar Ibn ‘Athorid Al-Bughuri Al-Jawi Al-Batawi Al-Makki Al-Syafi’i (1278-1349 H/ 1862-1931 M).
16.        Ahmad Ibn Ahmad Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman Al-Marzuqi Al-Batawi (1292 – 1353 H/ 1875-1935 M)
17.        Mansur Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Al-Batawi Al-Jakartawi Al-Syafi’i (1295-1387 H).
18.        Abdul Ghoni Al-Bimawi Aljawi (…-1270 H/ ….-1854 M).
19.        Marzuqi Al-Jawi Al-Syafi’i (…..- 1332 H/ …..-1914 M).
20.        Sholih Ruwah Al-Syafi’i (….-1270 H/ ….-1854)
21.        Baidlowi Ibn Abdul Aziz Ibn Baidlawi Ibn Abdul Lathif Al-Andunisia Al-Lasemi Al-Syafi’i (…- 1390 H/ ….-1970 M).
22.        Ali Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Ali Kudus Al-Samarani Al-Syafi’i Al-Makki.
23.        Abdul Qodir Al-Mandili Al-Jawi Al-Syafi’i (…. – 1352 H/ ….-1933 M).
24.        Ismail Ibn Abdullah Al-Minakabawi Al-Naqsyabandi Al-Kholidi Al-Jawi ( …. -  1280 H/ ….- 1863 M).
25.        Muhammad Azhari Ibn Ismail Ibn Abdullah Al-Kholidi Al-Minakabawi Al-Makki
26.        Muhammad Nur Ibn Ismail Ibn Muhammad Azhari Ibn Ismail Ibn Abdullah Al-Minakabawi Al-Naqsyabandi Al-Kholidi Al-Jawi (…..-1313 H/ ….-1896) .
27.        Abdullah Ibn Azhari Ibn ‘Asyiq Aldin Muhammad Ibn Shofiyudin Al-‘Alawi Al-Husaini Al-Falambani (1279 – 1357 H/ 1863-1939 M).
28.        Ahmad Nahrawi Al-Jawi (…. – 1346 H/ ….-1927 M).
29.        Muhammad Ibn Umar Sumbawi Al-Jawi Al-Makki.
30.        Muhammad Ibn Abdul Ghoni Ibn Abdurrahman Al-Falambani Al-Jawi
31.        Wahyudin Ibn Abdul Ghoni Ibn Sa’adullah Al-Falambani Al-Syafi’i
32.        Ahmad Ibn Abdul Ghoffar Ibn Abdullah Ibn Muhammad Sambas (1217-1289 H / 1802-1872 M)
33.        Sayyid Muhsin Ali Ibn Abdurrahman Al-Musawa (Pendiri Madrasah Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah Di Makkah) ( 1323-1354 H / 1905-1935 M).
34.        Zain Ibn Badawi Al-Sumbawi
35.        Muhsin Al-Sairami Al-Bantani (Serang Banten 1277-1359)
36.        Ali Ibn Abdullah Al-Banjari
37.        Sayyid Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Zai Al-‘Abidin Ibn Husain Ibn Musthofa Al-‘Idrus.
38.        Muhsin Ibn Muhammad Banhasan Al-Surabawi (1316-1366 H)
39.        KH. Abdul Mukhith Ibn Ya’qub Ibn Panji Al-Jawi Al-Makki (Panji, Surabaya)
40.        Hasan Musthofa Garut Al-Jawi,.
41.        Muhammad Syadzili Al-Jawi (1290-….H/ 1973-…. M),
42.        Ali Ibn Abdul Qodir Kudus Al-Syafi’i (W. 1272 H/ 1855 M).
43.        Syaikh Junaid Al-Jawi
44.        Abdussyakur Ibn Abdul Jalil Al-Jawi
45.        Jami’ Ibn Abdurrasyid Al-Rifa’i Al-Buqisi (1255-1361 H)
46.        Syaikh Al-Sya’ri Ibn Abdurrahman Al-Jawi Al-Makki
47.        Abdul Aziz Ibn Abdul Wahhab Ibn Sholih Al-Bunquri Al-Indonisiy Al-Makki. (1297-1353 H)
48.        As’ad Syamsul Arifin Sitobondo (Makkah, 1897 – situbondo, 4 agustus 1990).
49.        Sulaiman Al-Rasuli (1871-1970 M).
50.        Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M)
51.        Syaikh Muhammad Jamil Jambek (1860-1947 M).
52.        Muhammad Yasin Ibn Muhammad Isa Alfadani Al-Makki / Abu Al-Faid Alamuddin (W. 28 Dzul Hijjah Tahun 1410 H/ 1990 M).
53.        Muhammad Mukhtaruddin Ibn Zainal Abidin Al-Falimbani Al-Jawi Al-Makki Al-Syafi’i (W. 1411)
Data diatas merupakan bukti bahwa, abad ke-19-20 M adalah abad keemasan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci. Mereka banyak melahirkan murid dan karya tulis. Tetapi sangat disayangkan kebanyakan karya mereka, masih berupa manuskrip dan sedikit yang sudah diterbitkan. Diantara ulama Tanah Jawa di Tanah Suci yang dikenal dan Masyhur dengan banyaknya karya mereka antara lain, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syaikh Muktar ‘Athorid Al-Bughuri, Syaikh Muhammad Mahfud Al-Tarmasi, Syaikh Khotib Al-Minakabawi, Mansur Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Al-Batawi, Syaikh Sayyid Muhsin Ali Al-Musawa, Dan Syaikh Muhammad Yasin Al-Padani. Dan nama terakhir adalah ulama Tanah Jawa terakhir yang berkiprah di Tanah Suci atau yang menjadi guru besar di Masjidil Haram. Sangat disayangkan, setelah meninggalnya Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani, belum ada lagi ulama Tanah Jawa / Indonesia yang menjadi ulama Tanah Suci, yang bersinar namanya di seluruh penjuru alam islami.
Umar Abdul Jabbar, penulis kitab Siar Wa Tarajim mengatakan, “orang sekarang belum memperoleh apa yang telah mereka dapatkan yaitu ilmu yang melimpah ruah dan luas, terlebih lagi mereka juga berperan dalam melawan kedholiman dan orang-orang yang berbuat dholim dengan sikap teguh dan tegas mereka. merekalah orang-orang yang tidak takut pada celaan orang-orang yang mencela.”
Dari data diatas dapat dibaca bahwa pemikiran para ulama Tanah Jawa di Tanah Suci sejak abad ke-17-20 M adalah beraqidah Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah Al-‘Asyairoh, dalam bidang fiqih mereka bermadzhab Syafi’I, serta tasawuf Sunni. Hal ini dikuatkan dengan analisa yang dilakukan oleh Mufti Syafi’iyah, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ia mengatakan bahwa, Sekitar abad ke-19, madzhab Syafi’I adalah madzhab yang paling berpengaruh dan tersebar di Jazirah Arabia. Dan daerah hijaz adalah pusatnya. Bahkan mayoritas para ulama dan pencari ilmu adalah bermadzhab Syafi’i.”
Begitu juga, jaringan ulama Tanah Jawa di Tanah Suci yang sudah dimulai sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 adalah bukti bahwa Tanah Jawa (Indonesia) mampu melahirkan tokoh-tokoh hebat yang berperan besar dalam perkembangan intelektual di dunia islam dan penyebaran agama islam di berbagai belahan dunia. Hari ini mungkin belum ada ulama indonesia seperti mereka, tetapi sebagai ungkapan optimisme, tidaklah mustahil akan terlahir kembali dari rahim indonesia para ulama besar yang mampu melanjutkan jaringan ulama tanah jawa di tanah suci. 


KESIMPULAN
Perjalanan Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rosyidin tepatnya pada masa Khalifah Usman bin Affan. Perkembangan Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran Hijaz (Makkah dan Madinah). Hijaz, sejak zaman zaman Rasulullah SAW menjadi primadona bagi orang yang ingin mendalami wahyu dan Hadist an-Nabawi. Penyebaran islam di Indonesia masuk melaui dua jalur yaitu jalur selatan yang ber mazhab Syafi’i ( Arab, Yaman, Malaka, Indonesia ), dan jalur utara yang ber mazhab Hanafi ( Turki, Persia, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia ) penyebaran islam semakin berhasil khususnya di Pulau Jawa berhasil sejak abad ke 13 oleh Walisongo. Walisongo terdiri dari sembilan wali yaitu Sunan Gresik ( Maulana Malik Ibrahim), Raden Rahmat ( Sunan Ampel ), Sunan Giri,Sunan Bonang,Sunan Kudus,Sunan Kalijaga,Suanan Gunung Jati,Sunan Drajat,Sunan Muria.
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar