PERJALANAN ASWAJA KE
NUSANTARA
(PERIODE PASKA
WALISONGO)
Makalahdibuat
untuk memenuhi Tugas Agama 2 (Aswaja)
Oleh
:
Vina
Safitri Amalia NIM 151120001670
Umi
Lu’lu’ Issunnah NIM 151120001671
Ma’rifatul
Ula NIM 151120001658
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA
TAHUN
2016
KATA
PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah yang telah mememberi kami kesehatan
sehingga dapat menyelesaikan makalah sederhana ini. Sholawat serta salam tak
lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya
kelak di hari akhir nanti.
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama 2 (Aswaja) yang diampu oleh Bpk.
Nur Rohman Fakultas Ekonomi dan Bisnis
di UNISNU Jepara.
Tak lupa kami
ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bpk.Nur Rohman karena telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami
menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu, Kami mengharapkan kritik dan sarannya. Semoga
Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami pada khususnya.
Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan Aswaja ke Nusantara pada periode paska Walisongo
banyak diperankan oleh para kiai yang ada di pondok pesantren. Pembahasan tema
ini menjadi menarik karena dokumen-dokumen terkait Aswaja pada masa penjajahan
tidak banyak ditemukan.
B. Sistematika
Pembahasan
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai :
1.
Kerajaan Islam sebagai Penyebar Aswaja di Nusantara
2.
Sejarah Berkembangnya Pondok Pesantren
3.
Pondok Pesantren sebagai benteng Aswaja
4.
Sejarah dan Peranan Pondok Pesantren dalam perkembangan Aswaja di Nusantara
5.
Peranan pondok pesantren pada masa penjajahan
6.
Perkembangan pendidikan aswaja di
Nusantara
C. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini
adalah :
1) Memahami perjalanan Aswaja ke
Nusantara pada periode paska Walisongo
2) Mengenang kembali jasa-jasa para
ulama’ terdahulu
3) Memahami dan mencontoh cara
berdakwah yang baik dan mengamalkan semua ajaran yang diajarkan oleh para
ulama’
Perjalanan Aswaja ke Nusantara Paska Walisongo lebih banyak diperankan oleh
para kiyahi yang berada di pondok pesantren. Pondok Pesantren dengan figure kiayi atau wali juga memiliki kekuatan
politis untuk melegitimasi sebuah kekuasaan
seperti yang terjadi pada kasus kerajaan Demak dan Pajang. Peran politis tersebut
semakin menguat pada zaman penjajahan Belanda, dimana hamper semua peperangan melawan
pemerintah colonial Belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya
dari pesantren. Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah sistemp
endidikan tertua di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa sejak abad
ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis
yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan social bagaimanapun
senantiasa berfungsi sebagai sarana penyebaran aswaja di indonesia
pasca walisongo.
Dalam perkembangannya, pesantren
tetap kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan
dan mengembangkan nilai-nilai aswaja.Realitas ini tidak saja dapat dilihat
ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial belanda,
namun pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada
suatu tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem pendidikan umum
dan madrasah modern.Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat semakin
diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru, eksistensi lembaga pendidikan
pesantren tetap saja menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran aswaja. Pesantren justru tertantang untuk tetap bertahan dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mampu beradaptasi dengan menerima dinami kakehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERJALANAN
ASWAJA DIPELOPORI KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA
1.
KERAJAAN
ACEH
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Aceh
Aceh semula menjadi daerah taklukkan
Kerajaan Pedir. Akibat Malaka jatuh ke tangan Portugis, pedagang yang semula
berlabuh di pelabuhan Malaka beralih ke pelabuhan milik Aceh. Dengan demikian,
Aceh segera berkembang dengan cepat dan akhirnya lepas dari kekuasaan Pedir.
Aceh berdiri sebagai kerajaan merdeka. Sultan pertama yang memerintah dan
sekaligus pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M).
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar
karena didukung oleh faktor sebagai berikut:
1)
Letak Ibu kota Aceh
yang sangat strategis.
2)
Pelabuhan Aceh (Olele)
memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
3)
Daerah Aceh kaya dengan
tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang penting.
4)
Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh.
Sultan Ali Mughayat Syah merupakan Raja
pertama di Aceh sekaligus beliau merupakan pendiri Kerajaan Aceh. Setelah
beliau mangkat, raja selanjutnya adalah Sultan Ibrahim. Dalam pemerintahannya
beliau berhasil menaklukkan Pedir. Raja berikutnya adalah Iskandar Muda. Pada
masa pemerintahan beliau, Aceh mencapai puncak kejayaan dan menjadi sumber
komoditas lada dan emas. Beliau mangkat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh
menantunya Iskandar Thani yang tidak memiliki kecakapan. Dalam pemerintahannya,
Kerajaan Aceh terus-menerus mengalami kemunduran.
c.
Aspek
Kehidupan Kebudayaan
Letak Aceh yang strategis menyebabkan
perdagangannya maju pesat. Dengan demikian, kebudayaan masyarakatnya juga makin
bertambah maju karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Contohnya, yaitu
tersusunnya hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat
Makuta Alam. Dengan hukum adat Makuta Alam itulah, sehingga tata kehidupan dan
segala aktivitas masyarakat Aceh didasarkan pada aturan Islam. Dengan demikian,
keadaan Aceh seolah-olah identik dengan Mekah, Arab Saudi. Atas dasar itulah,
Aceh mendapat julukan Serambi Mekah.
d.
Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Bidang perdagangan yang maju menjadikan
Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya
akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur dan menjadi sumber komoditas lada
dan emas. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata
yang kuat.
e.
Kemunduran
Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh ketika itu
disebabkan oleh hal-hal sebagai-berikut:
Kekalahan perang antara Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M. Tokoh pengganti Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya. Permusuhan yang hebat di antara kaum ulama yang menganut ajaran berbeda. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dengan Aceh. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lainnya berhasil mendesak dan menggeser daerah-daerah perdagangan Aceh. Akibatnya perekonomian semakin melemah.
Kekalahan perang antara Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M. Tokoh pengganti Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya. Permusuhan yang hebat di antara kaum ulama yang menganut ajaran berbeda. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dengan Aceh. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lainnya berhasil mendesak dan menggeser daerah-daerah perdagangan Aceh. Akibatnya perekonomian semakin melemah.
2.
KERAJAAN
DEMAK
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah vasal atau bawahan
dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja
Majapahit yang terakhir. Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden
Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan
dukungan dari para bupati, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan
gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.
Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat.
Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang,
Jambi, Banjar, dan Maluku.
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Pada tahun 1507 M, Raja Demak pertama,
Raden Patah mangkat dan digantikan oleh putranya Pati Unus. Pada masa
pemerintahan Pati Unus, Demak dan Portugis bermusuhan, sehingga sepanjang
pemerintahannya, Pati Unus hanya memperkuat pertahanan lautnya, dengan maksud
agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Setelah mangkat pada tahun 1521, Pati unus
digantikan oleh adiknya Trenggana. Setelah naik takhta, Sultan Trenggana
melakukan usaha besar membendung masuknya portugis ke Jawa Barat dan memperluas
kekuasaan Kerajaan Demak.
Beliau mengutus Faletehan beserta
pasukannya untuk menduduki Jawa Barat. Dengan semangat juang yang tinggi,
Faletehan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kelapa lalu menyusul Cirebon.
Dengan demikian, seluruh pantai utara Jawa akhirnya tunduk kepada pemerintahan
Demak. Faletehan kemudian diangkat menjadi raja di Cirebon. Pasukan demak terus
bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil menundukkan Pajang dan Mataram, serta
Madura. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Trenggana melakukan perkawinan
politik dengan Bupati Madura, yakni mengawinkan Putri Sultan Trenggana dengan
Putra Bupati Madura, Jaka Tingkir. Sultan Trenggana mangkat pada tahun 1546 M.
Mangkatnya Beliau menimbulkan kekacauan
politik yang hebat di Demak. Negara bagian banyak yang melepaskan diri, dan
para ahli waris Demak juga saling berebut tahta sehingga timbul perang saudara
dan muncullah kekuasaan baru, yakni Kerajaan Pajang.
c.
Aspek
Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan
Demak telah berjalan teratur. Pemerintahan diatur dengan hukum Islam tanpa
meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Hasil kebudayaan Demak merupakan
kebudayaan yang berkaitan dengan Islam. Seperti ukir-ukiran Islam dan
berdirinya Masjid Agung Demak yang masih berdiri sampai sekarang. Masjid Agung
tersebut merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam.
d.
Aspek
Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Demak berperan
penting karena mempunyai daerah pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil
bahan makanan, terutama beras. Selain itu, perdagangannya juga maju. Komoditas
yang diekspor, antara lain beras, madu, dan lilin.
e.
Keruntuhan
Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan
karena pembalasan dendam yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama
dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin
menyingkirkan Aria Penansang sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria
Penansang telah membunuh suami dan adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu
daya yang tepat mereka berhasil meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang
yang tidak lain adalah Aria Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh
Sutawijaya. Sejak saat itu pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah
riwayat Kerajaan Demak.
3.
KERAJAAN
BANTEN
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan
Kerajaan Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di
Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan,
Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sejak saat itu,
Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang
berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun
1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin.
Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat berkembang
menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
b.
Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Banten pertama, Sultan Hasanuddin
mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf. Sultan
Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M
kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya direbut, dan
rajanya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu, tamatlah kerajaan Hindu di
Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,
Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tenteram karena
kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya
pembangunan kota. Bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran
irigasi.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun
1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di
Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana Muhammad
yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan perwalian
Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad berlangsung
tahun 1508-1605 M. Kemudian digantikan oleh Abdulmufakir yang masih kanak-kanak
didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana Menggala wafat,
Banten mengalami kemunduran.
c. Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan
dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak.
Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di
Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem
kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah
perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
d. Kemunduran
Kerajaan Banten
Penyebab kemunduran Kerajaan Banten
berawal saat mangkatnya Raja Besar Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya
Raja Besar terjadilah perang saudara di Banten antara saudara Maulana Yusuf
dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak saat itu Banten mulai hancur karena
terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap seperti
Maulana Yusuf.
4. KERAJAAN
MATARAM ISLAM
a. Awal
Perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di
Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi Bupati di Mataram sebagai imbalan
atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki
Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng
Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di
Mataram. Setelah menjadi bupati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan ingin
menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan sengit
pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Hadiwijaya mangkat. Setelah itu
terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan
Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari
Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya)
menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat
pemerintahannya ke kotagede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah
Kerajaan Mataram.
b. Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para bupati di pantai
utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang
memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya
berusaha menundukkan bupati-bupati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram
berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai
pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta
kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas Rangsang atau
Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, muncul kembali para bupati
yang memberontak, seperti Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora,
Madiun, dan Bojonegoro. Untuk menundukkan pemberontak itu, Sultan Agung
mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta
penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada
tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten,
Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung
mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami
kegagalan.
c. Aspek
Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan
Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan
norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat
kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana
yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan, dalam
istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana.
Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang
dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.
d. Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari
Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya
dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan
tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang
mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus
perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada
masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk
kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi
antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang
kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra
Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa
yang disebut Hukum Surya Alam.
e. Kemunduran
Mataram Islam
Kemunduran Mataram Islam berawal saat
kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda.
Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian
rakyat dikerahkan untuk berperang.
5. KERAJAAN
MAKASSAR
a. Awal
Perkembangan Kerajaan Makassar
Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16
terdapat banyak kerajaan, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallo, bone, Wajo,
Soppeng, dan Luwu. Berkat dakwah dari Datuk ri Bandang dan Sulaeman dari
Minangkabau, akhirnya Raja Gowa dan Tallo masuk Islam (1605) dan rakyat pun
segera mengikutinya.
Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat
menguasai kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar.
Dari Makasar, agama Islam menyebar ke berbagai daerah sampai ke Kalimantan
Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Makassar merupakan salah
satu kerajaan Islam yang ramai akan pelabuhannya. Hal ini, karena letaknya di
tengah-tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Malaka.
b. Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Makassar mula-mula diperintah
oleh Sultan Alauddin (1591-1639 M). Raja berikutnya adalah Muhammad Said
(1639-1653 M) dan dilanjutan oleh putranya, Hasanuddin (1654-1660 M). Sultan
Hasanuddin berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Bone. VOC
setelah mengetahui Pelabuhan Makassar, yaitu Sombaopu cukup ramai dan banyak
menghasilkan beras, mulai mengirimkan utusan untuk membuka hubungan dagang.
Setelah sering datang ke Makassar, VOC mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk
bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Namun, bujukan VOC itu
ditolak.
Setelah peristiwa itu, antara Makassar
dan VOC mulai terjadi konflik. Terlebih lagi setelah insiden penipuan tahun
1616. Pada saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di
atas kapal VOC, tetapi nyatanya malahan dilucuti dan terjadilah perkelahian
yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Keadaan meruncing sehingga
pecah perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan
dalam menundukkan Makassar. Oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palakka (Raja
Bone) yang ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan merdeka.
c. Aspek
Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Kerajaan Makassar berkembang menjadi
kerajaan maritim. Hasil perekonomian terutama diperoleh dari hasil pelayaran
dan perdagangan. Pelabuhan Sombaupu ( Makassar ) banyak didatangi kapal-kapal
dagang sehingga menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai. Dengan demikian,
masyarakatnya hidup aman dan makmur.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja
dibantu oleh Bate Salapanga (Majelis Sembilan) yang diawasi oleh seorang
paccalaya (hakim). Sesudah sultan, jabatan tertinggi dibawahnya adalah
pabbicarabutta (mangkubumi) yang dibantu oleh tumailang matoa dan malolo.
Panglima tertinggi disebut anrong guru lompona tumakjannangan. Bendahara
kerajaan disebut opu bali raten yang juga bertugas mengurus perdagangan dan
hubungan luar negeri. Pejabat bidang keagamaan dijabat oleh kadhi yang dibantu
imam, khatib, dan bilal. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari Kerajaan
Makassar adalah keahlian masyarakatnya membuat perahu layar yang disebut pinisi
dan lambo.
d. Kemunduran
Kerajaan Makassar
Kemunduran Kerajaan Makassar disebabkan
karena permusuhannya dengan VOC yang berlangsung sangat lama. Ditambah dengan
taktik VOC yang memperalat Aru Palakka ( Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.
Kebetulan saat itu Kerajaan Makassar sedang bermusuhan dengan Kerajaan Bone
sehingga Raja Bone setuju bekerja sama dengan VOC.
6. KERAJAAN
TERNATE
a. Awal
Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri
Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau
Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain,
seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan
Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang,
baik dari Nusantara maupun pedagang asing.
b. Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan
Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa
pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di
sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga
tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang
oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa
pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya.
Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua,
dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
c. Aspek
Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami
perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting
di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan,
pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan
memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat
membangun laut yang cukup kuat.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam,
masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum
Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De
Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah
kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan
Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
d. KemunduranKerajaan
Ternate
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan
karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing
(Portugis dan Spanyol) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa
mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.
7. KERAJAAN
TIDORE
a. Awal
Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah
selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate
pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada
tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah,
Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk
Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.
b. Aspek
Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan
pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan
Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris.
Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris
tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang
cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak
diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga
kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas,
meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua.
Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang
Belanda yang berniat menjajah kembali.
c. Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam,
masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam
. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita
dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci
Al-Qur’an. Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah
Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh
Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis,
Spanyol, dan Belanda.
d. Kemunduran
Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan
karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (
Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa
mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.
B. SEJARAH PONDOK PESANTREN DALAM PERKEMBANGAN ASWAJA DI NUSANTARA
Pesantren
dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus
mencetak kader-kader ulama atau da’i. Pesantren sendiri menurut pengertian
dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah
atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu pondok
juga berasal dari bahasa arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama.
Pembangunan
suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga
pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan
keilmuan yang diperlukan sangat menentukan
tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini
diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang
guru atau kyai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru atau kyai tersebut,
masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar.
Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tempat
tinggal guru tersebut.
1.
Pondok
Pesantren pada masa penjajahan.
Pada pertengahan abad 19 M.
perkembangan lembaga pendidikan mencapai tingkat tinggi. Hal ini karena
meningkatnya jumlah jama’ah haji ke Makkah yang mengakibatkan banyak orang yang
ahli dalam bidang agama yang membuka lembaga pendidikan. Bahkan tahun 1882 M.
menurut catatan terdapat 300 pesantren di Jawa dan Madura. Hal itu ditambah
lagi banyaknya orang-orang Hadhramaut yang bermigrasi dan mencari penghidupan
yang layak di Indonesia yang juga membuka wawasan baru.
Wawasan baru tersebut mengakibatkan
sistem madrasah yang berkembang di Timur Tengah berkembang pula di Indonesia,
baik isi dan materinya sama. Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan
sekolah-sekolah untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada
awal abad 20 M. Belanda mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang
menggunakan sistem pendidikan Liberal. Namun, hanya diperuntukkan bagi
bangsawan dan pegawai pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan agama tetap
menjadi lembaga pendidikan yang bisa ditempati masyarakat pribumi.
Sebagaimana yang telah diketahui
bahwa kedatangan penjajah Belanda di bumi Nusantara untuk mengemban fungsi
ganda, yaitu melakukan penjajahan dan salibisasi. Oleh karena
itu, semboyan yang terkenal dari penjajah Belanda adalah Glory (kemenangan
atau kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel
(upaya sabilisasi terhadap umat Islam di Indonesia).
Dengan keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam
di Indonesia, penjajah Belanda cenderung merugikan umat Islam. Penjajah Belanda
berusaha menghambat perkembangan pendidikan Islam, dengan terang-terangan
membiayai misionaris Kristen.
Banyak sikap mereka yang merugikan
lajunya perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, misalnya:
1.
Setiap sekolah atau
madrasah/pesantren harus memliki ijin dari Bupati atau pejabat pemerintah
Belanda.
2.
Harus ada penjelasan dari sifat
pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci.
3.
Para guru harus membuat daftar murid
dalam bentuk tertentu dan mengirimkannya secara periodic kepada daerah yang
bersangkutan.
Pada dasarnya banyak kerugian yang
diderita oleh umat Islam dalam persoalan pendidikan pada masa penjajahan
Belanda. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang terpaksa ditutup atau dipindahkah
karena ulah penjajah Belanda terhadap bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan
Belanda ini, proses pendidikan Islam mengalami banyak tantangan dan hambatan,
akan tetapi para tokoh Islam tetap giat dan gigih dalam memperjuangkannya.
Pada akhir abad 19 M. Belanda
mendirikan sekolah-sekolah untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan
Belanda. Pada awal abad 20 M. Belanda mulai memberikan pendidikan kepada
masyarakat yang menggunakan sistem pendidikan Liberal, sebagaiamana dijelaskan
di atas, sebagai tandingan dari perkembangan pesantren. Namun, hanya
diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai pemerintah. Sehingga lembaga
pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan yang bisa ditempati
masyarakat pribumi.
Hal ini menjadi momentum awal bagi
modernisasi pesantren. Apalagi pada awal abad ke- 20 M. para pembaharu Muslim,
dalam rangka menjawab menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen,
banyak mendirikan madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi
sistem pendidikan Belanda. Karena itu pesantren mengadopsi tiga pembaharuan
dalam sistem pendidikannya:
a.
Dibukanya pesantren untuk santri
putri yang ditandai oleh pesantren Denanyar Jombang
b.
Diadopsinya sistem madrasah untuk
santri tingkat lanjut, namun sistem ini tidak diadopsi untuk mengganti sistem
tradisional yang telah ada, namun untuk menambah.
c.
Diadopsinya beberapa mata pelajaran
umum ke kurikulum pesantren. Pesantren Tebuireng Jombang dan Singasari Malang
misalnya, mengajarkan bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi,
dan lain-lain.
Pada tahun 1882 M. pemerintah
Belanda mendirikan Priesterraden, lembaga yang mengawasi pendidikan dan
kehidupan agama penduduk pribumi. Dari lembaga ini, pemerintah pada tahun 1905
mengeluarkan Goeroe Ordonantie yang mengatur siapa saja yang mengajar
Islam harus minta izin pemerintah. Pada tahun 1925 M. dikeluarkan Goeroe
Ordonantie baru, yaitu mengatur bahwa guru-guru agama cukup memberikan
informasi tertulis kepada pemerintah. Namun pada masa ini tidak semua Kiai
boleh memberikan pengajaran mengaji. Hal itu lebih dikarenakan adanya gerakan
organisasi pendiidkan yang tumbuh pesat seperti Muhammadiyah, PSI, dan lain
sebagainya. Pada tahun 1932 M. pemerintah mengeluarkan Wilde School
Ordonantie yang mengawasi madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan
mengajarkan materi yang dilarang oleh pemerintah dan lembaga yang seperti ini
harus ditutup. Peraturan keluar setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme
yang dianggap akan merongrong kekuasaan Belanda.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah Belanda telah banyak merugikan pendidikan Islam yang berkembang
pada masa itu. Namun, para cendekiawan-cendekiawan muslim tidak kenal menyerah
dan dengan gigih terus memperjuangkan pendidikan Islam, walaupun harus melalui
berbagai hambatan, halangan, dan rintangan.
2.
Keadaan pesantren pada zaman
penjajahan
Pemerintah kolonial khususnya
Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola
oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren.
Penyelenggaraan pendidikan di
pesantren menurut kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk
menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif
kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya
dengan lembaga pendidikan yang telah ada.
Antara kedua sistem pendidikan
tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan
kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:
a.
Pendidikan yang diselenggarakan dan
dibiayai oleh pemerintah belanda bersifat netral. Pendidikan diselenggarakan
berdasarkan perbedaan kelompok elit yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan
politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya.
b.
Pendidikan di madrasah dan pondok
pesantren tidak terlalu memikirkan
bagaimana cara hidup harmonis di dunia, tetapi menekankan pada bagaimana
memperoleh penghidupan.
Dengan didirikannya lembaga
pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa indonesia tersebut,
semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dan
lembaga pendidikan pemerintah. Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya
dalam segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk
perlawanan politis dan bahkan fisik (peperangan). Perlawanan melawan pemerintah
kolonoal Belanda pada abad ke-19 mendapatkan dukungan sepenuhnya dari
pesantren. Perang-perang besar seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang
Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar
di mana-mana didukung sepenuhnya oleh tokoh-tokoh pesantren dan
alumni-alumninya. Merekalah yang memegang peranan utama.
Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden
(Pengadilan Agama) pleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah mengadakan
pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan
ordonasi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap
perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren) dan guru-guru agama yang akan
mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Semenjak itulah muncul berbagai
usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban
umat Islam, termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Pada garis besarnya, ide pembaharuan
dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa digolongkan menjadi
tiga kelompok, yaitu:
a.
Pembaharuan pendidikan Islam yang
berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
b.
Pola pembaharuan pendidikan Islam
yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam.
c.
Pola pembaharuan yang berorientasi
pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber
daya nasional atau bangsa masing-masing.
Tampaknya, ketiga pandangan tersebut
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan sistem pendidikan
Islam di Indonesia menjelang dan awal abad ke-20. Beberapa pesantren mulai
memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah
umum, kendati pelajarannya masih ditekankan pada pelajaran agama saja. Pada
perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan umum.
3.
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan islam adalah
wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam yang bersamaan dengan
proses pembudayaan. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan islam,
mempunyai peranan yang sangat penting dalam memajukan pendidikan islam di
indonesia.
Mekanisme kerja pesantren mempunyai
keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada
umumnya, yaitu:
1)
Memakai sistem tradisional yang
mempunyai kebebasan penuh
2)
Kehidupan di pesantren menampakkan
semangat demokrasi
3)
Para santri tidak mengidap penyakit
simbolis
4)
Sistem pondok pesantren mengutamakan
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penanaman rasa percaya diri dan
keberanian hidup.
5)
Alumni pondok pesantren tidak ingin
menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh
pemerintah.
Pesantren mempunyai ciri khas
tersendiri yang dapat membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri
khas tersebut sekaligus juga menjadi unsur-unsur pokok pesantren, yaitu sebagai
berikut:
1)
Pondok
Pondok merupakan tempat tinggal kyai bersama para
santri dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2)
Masjid
Masjid digunakan sebagai pusat kegiatan ibadah dan
belajar.
3)
Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok yaitu santri mukim dan santri kalong
4)
Kyai
Kyai yaitu tokoh sentral dalam pesantren yang
memberikan pengajaran.
5)
Kitab-kitab Islam klasik
Kitab-kitab Islam klasik yaitu kitab yang dikarang
para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan
bahasa Arab.
4.
Sistem
pendidikan dan pengajaran Pesantren
Pondok pesantren memiliki model-model
pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan
menggunakan metode pengajaran sebagai berikut:
1)
Sorogan, yaitu cara mengajar per
kepala; setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran
secara langsung dari kyai.
2)
Bandongan atau wetonan yaitu cara
mengajar dimana santri duduk di sekitar kyai dengan membentuk lingkaran. Kyai
membacakan teks kitab, menerjemahkan dan menerangkan maksudnya, kemudian santri
menyimak kitab masing-masing.
3)
Hafalan, santri harus menghafal
materi yang diajarkan, misalnya, Al-Qur’an, hadits, dan materi-materi tertentu
yang wajib dihafalkan.
5.
PerananPondok Pesantren dalam perkembangan Aswaja
Sebagai
Lembaga Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan
Nasional, Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma
ngaji dan menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi
keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi
keaslian budaya Indonesia, disamping Lembaganya yang bercorak pribumi
(indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian
menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka dalam Sejarahnya,
perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam
pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, pesantren
tidak hanya berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang berfungsi menyebarkan
ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju
keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif).
Sebagaimana
tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik
para raja dan pangeran di-Jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman
daerah baru. Di saat Penjajah Belanda menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara,
pesantren malah menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap
Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965,
pesantren masih dikategorikan sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan Peledak’ yang
mampu menghancurkan kelancaran politik yang stagnan. Dan saat memasuki orde
baru, pesantren dipandang sebagai ‘potensi pembangunan’ negara bagi masyarakat
Indonesia.
Geneologi
ideology pesantren dapat dirujuk kepada tumbuh kembangnya pesantren yang cukup
panjang. Sebagai salah satu wujud entitas budaya, Pesantren ternyata mampu
survive mempertahankan diri ditengah kehidupan masyarakat modern dan kebangsaan
global sepanjang jaman. Awalnya, pesantren tumbuh sebagai simbol perlawanan
terhadap agama dan kepercayaan poliestik, khurafat dan takhayul. Kehadiran
Pesantren di tanah air selalu diawali dengan perang nilai antara “nilai putih”
yang dibawa Pesantren dengan “nilai hitam” yang telah mengakar kuat dalam
tradisi masyarakat Jawa. Sehingga pertarungan tersebut selalu dimenangkan pihak
pesantren sekalipun sinkretisasi antara kejawen dan ajaran Islam sulit
dibantahkan.
Kapan dan
dimana model pesantren pertama kali didirikan masih terjadi perbedaan. Ada yang
mengatakan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16 M yang ditandai dengan
munculnya karya-karya Jawa klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centini,
sejak abad ke-16 M. di Indonesia telah banyak dijumpai Lembaga-Lembaga yang
mengajarkan pelbagai kitab Islam klasik dan disiplin ilmu pengetahuan Islam
seperti Fiqh, Aqidah, Tasawuf, dan variable ilmu Islam yang universal. Di
samping itu, ada pula yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren tak
lain dan tak bukan adalah “jiplakan” dari sistem pendidikan Hindu-Budha pada
abad ke-18 M. Dengan demikian, sejak abad ke 19-20, model pendidikan pesantren
mulai banyak mengalami perubahan dipelbagai segi sosial sebagai konsekuensi
logis dari “muncratnya trend jaman” akibat terpengaruh globalisasi. Bahkan,
tidak sedikit akhir-akhir ini dari Lembaga-Lembaga Pesantren yang mulai
menerjuni dunia pendidikan sebagai alternative pembangunan bangsa kearah yang
lebih baik .
Tidak
sedikit kontribusi yang diberikan Pesantren dalam pembangunan nation-state
selama ini. Tengoklah pada masa penjajahan, Pesantren telah memainkan
perlawanan dan mengambil posisi uzlah sebagai bentuk perlawanan sekaligus
pertahanan dari para penjajah. Sebab dari uzlah inilah sebuah pesantren mampu
mendapatkan stereotip dari Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu
dikonotasikan sebagai Lembaga Pendidikan yang semrawut, sehingga banyak orang
yang tidak tahu secara jelas sampai mana batas-batas Lembaga Pendidikan
Pesantren apakah sebagai Lembaga Sosial, ataukah Lembaga Penyiaran Agama.
Banyak para Kyai yang kedudukannya juga ikut-ikut tidak jelas apakah peran
mereka sebagai guru, pemimpin spiritual, penyiar agama ataukah sebagai pekerja
social, sehingga masih banyak Lembaga Pesantren yang hingga detik ini tidak
mendapat stigmatisasi pendidikan, sistem evaluasi, metode pengajaran, dan
sebagainya.
Karena
anggapan miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu, maka Pesantren lebih
memprioritaskan diri untuk pengajaran fiqh-sufistik daripada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan masalah keduniawian. Tentu saja prioritas ini
menimbulkan kerugian sekaligus keuntungan. Keuntungannya, pesantren menjelma
menjadi Lembaga Pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental
spiritualitas, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Namun di sisi
lain, kerugian yang harus ditanggung pesantren ialah, pesantren seakan-akan
telah terlepas dari kehidupan nyata, tidak membumi, terlalu melangit ke akhirat
serta kurang mengapresiasi diri bahkan melupakan kehidupan duniawi.
Pada masa
pergerakan dan persiapan kemerdekaan saja, pesantren berperan sebagai pusat
perjuangan / gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa awal
pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak berasal
dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari para Kyai
dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai untuk
menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi
negara. Meski saat itu, Lembaga Pendidikan Pesantren masih menjadi Lembaga
Pendidikan Agama yang bercorak fiqh-gnostik dan klinik sosial-keagaman
masyarakat.
Pada abad
ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang
berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang
baik, dengan berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih
wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah”. Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai
mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan
mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di bidang pendidikan, perubahan
pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta
aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas
bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan
perilakunya. Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di kawasan Kota Kediri saja
pada abad ke-20, mulai mengajarkan pendidikan ketrampilan di pelbagai bidang.
Seperti menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya.
Pendidikan ketrampilan ini diberikan dengan tujuan supaya civitas pesantren
memiliki wawasan keduniawian sesuai profesi yang diinginkan melalui pendidikan
ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam hal-hal yang bersifat karitas
atau charitable, tetapi juga professional menghadapi hal-hal yang bersifat
sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan demikian, para sejarawan akhirnya berhasil
menyimpulkan bahwa sejarah geneologi sistem pendidikan ala pesantren sebenarnya
dapat ditelusuri dari era sebelum masuknya Agama Islam. Istilah pesantren yang
berawal dari surau Sunan Ampel dianggap oleh sebagian ahli sejarah sebagai
tonggak eksistensi awal munculnya bendera Lembaga Pendidikan Pesantren dalam
rangka mentransfomasikan keilmuan dan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari
tempat inilah, Pesantren menjelma sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang
berorientasi mencetak agen-agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
6.
Pesantrensebagai Benteng Spiritual Aswaja
Di samping sistem pendidikannya yang amat sederhana,
di dalamnya juga terdapat interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang
berperan penting sebagai guru bagi para santri dan telah menjadikan standar
pendidikan yang cukup efektif bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai,
sebagai top leader (uswah) yang menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur
langsung komunitas yang diembannya, mulai urusan para tamu, santri baru,
penentuan kitab-kitab kajian hingga berbagai aktifitas yang dijalankan dalam
tubuh Pesantren. Bertambah banyaknya santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk
santri seniornya menjadi Lurah Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai
didelegasikan. Sejarah metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal
menempatkan Pesantren sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif,
emiret), dimana antara satu Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan
aktifitas yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang
sering disebut-sebut “tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium
ketiga dan mendapat sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan
tradisional, toh kenyataannya, Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis,
bahkan mendapat simpati dan animo masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon
krisis berkepanjangan di Indonesia. Karenanya, topik sejarah berdirinya Pondok
Pesantren Lirboyo, pelestarian dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di tinjau dari berbagai manfaat guna dijadikan sebagai suri tauladan
umat.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah
yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng
pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia
maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya
republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula dengan
lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat Islam,
melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam terus
dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan) serta
orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran
keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur
institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga
mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris
para Nabi.
Apalagi jika menengok sejarah penanaman nilai-nilai
moral dan metodologi pendidikan salaf bernafas religius seperti yang diterapkan
Pondok Pesantren Lirboyo sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya
mempertahankan anak bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan
jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna
merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap
Kyai yang tulus, ikhlas, sabar. Tawakal (berserah diri), tawadlu’ (hormat),
jujur serta independensi merupakan dinamika energy power bagi nilai-nilai luhur
Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka saat ini sungguh langka
ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada nilai-nilai mulia
itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi moral serta
penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi “krisis”
berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran bagi
umat manusia.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke
generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul
beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah
keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas
unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk
tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial
sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan
atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan
Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi
simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.
7.
Nilai-nilai Pesantren
Harus diakui bahwa pada dasarnya, Pesantren dibangun
atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Komunitas
santri yang ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang secara
ihklas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis mutualisme
ini saling melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang memiliki
kesamaan kesadaran dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang kemudian
disebut Pesantren. Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga besar
berlandaskan nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh
keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah
yang menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî
al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang
melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup
sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri
Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi
Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai diatas, eksistensi pesantren
menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa, Seperti jiwa keihlasan yang tidak
pernah didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan tertentu,
khsusnya material, melainkan karena semata-mata karena beribadah kepada Allah.
Jiwa keikhlasan memanifestasikan dalam segala rangkaian sikap dan perilaku
serta tindakan yang dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren. Jiwa
kiekhlasan ini dilandasi oleh keyaqinan bahwa perbuatan baik pasti diganjar
oleh Allah dengan sesuatu yang tak bisa dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya Pesantren salaf juga telah
terpatri jiwa kesederhanaan, kata’sederhana’ disini bukan berarti pasif,
melarat, miskin, dan menerima apa adnya, akan tetapi lebih dari itu mengandung
unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri dan kecakapan
menguasai diri dalam menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini
tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi
dinamika sosial secara kompetitif. Jiwa kesederhanaan ini menjadi ‘baju’
identitas yang paling berharga bagi civitas santri dan Kyai. Apalagi dengan
adanya jiwa kemandirian yang peranannya mampu mengurusai persoalan-persoalan
internal pesantren, namun kesanggupan membentuk Pesantren sebagai institusi
pendidikan Islam yang independen, tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan
pamrih pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga
banyak dari mereka yang benar benar menjadi merdeka, otonom dan mandiri di
dalam budaya Pesantren salaf, biasanya ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan
civitas Pesantren sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa
depannya, hanya dengan jiwa besar dan sikap optimis inilah maka dalam lembaran
sejarahnya, Pesantren mampu mengahadapi segala problematika kehidupan umat
manusia dengan dilandasi nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap
kemandirian yang tidak berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun
orientasi kepesantrenan dan kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain
seperti ukhuwwah Islamiyyah, jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas Pesantren
yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa
ini mematri suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan saling
mengharagai bahkan saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan
idealisme santri. Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan
mampu eksis sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi
teknologi industry yang massif dan mendunia tidak menggoyahkan eksistensi
Pesantren sebagai penjaga sekaligus pelestari nilai-nilai luhur. Dikarenakan
Pesantren hanya tergantung terhadap kebenaran mutlak (tuhan) yang diaktualisasi
dalam fiqh-sufistik yang berorientasi kepada amalan ukhrawiy, maka kebenaran
didalamnya relative bersifat empiris pragmatis dalam memecahkan beragam
persoalan kehidupan sesuai dengan hukum agama. Semua aktivitas Pesantren selalu
mengacu kepada keseimbangan antara ukhrawiy dan duniawi. Keimanan civitas
Pesantren senantiasa memanifestasikan setiap perilaku, sikap dan tindakan
sehari-hari. Karena itulah, identitas Kyai dan santri menjadi sesuatu yang
layak diteladani bagi setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai kemandirin yang menjadi pondasi eksistensial
pesantren merupakan nilai utama paling signifikan bagi perubahan sosial dan
budaya yang otonom. Dengan kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma
sebagai creative cultural makers dan figure sang kyai sangat penting dalam
kehidupan bermasyrakat. Sehingga, profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok
juga sebagai tokoh masyarakat, mediator, dan pialang. Kenyatan semacam ini
tentu saja disebabkan Kyai mempunyai integritas keilmuan tinggi yang mampu
mempriteksi kesadaran masyarakatnya sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan
budaya kemandirian. Dengan kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari
jerat-jerat dependensi dan hegemoni pihak lain.
8.
Pesantren, Institusi Pendidikan yang komprehensif
Rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai
Pondok pesantren mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong
dari metodologi pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang
diterapkannya. Jika dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini
telah banyak menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih
bergelut dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah
banyak di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan
pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan
ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak para
alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu yang
membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih
memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung
eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan
pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di Kawasan Kota
Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap
percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya.
Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan
modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf,
Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler
berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam
dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia.
9.
Perkembangan
pendidikan Islam Aswaja di Nusantara
1) Perkembangan
pendidikan di Sumatera
a. Pendidikan Aswaja
di Aceh
Materi pendidikan Islam di Aceh pada masa penjajahan
Belanda adalah sebagai berikut:
(1)
Belajar huruf Hijaiyah (alfabeth
Arab)
(2)
Juz ‘Amma (disebut Al-Qur’an kecil).
(3)
Mengaji Al-Qur’an (disebut Al-Qur’an
besar).
Setelah materi di atas dilanjutkan dengan kitab-kitab
berbahasa Melayu, seperti: Bidayah, Masail Al Muhadi, Fur’ Masail, dan
lain-lain. Setelah selesai masa pembacaan kitab-kitab Melayu dilanjutkan
mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab, seperti: Dammun, Al-‘Awamil, Al
Jurumiyah, Tafsir Jalalain.
Setelah perang Aceh melawan Belanda berakhir,
pendidikan Islam di Aceh mulai berkembang, ditandai dengan berdirinya berbagai
pondok pesantren. Di pondok pesantren banyak dipelajari kitab-kitab seperti: Fathul
Qarib, Fathul Mu’in, dan lainnya. Berikutnya mulai lahir madrasah, salah
satunya madrasah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh Sigli yang didirikan
pada tahun 1930 oleh Tgk. Daud Berueh.
Madrasah itu memiliki tujuh kelas dengan lama masa
belajar empat tahun. Materi yang diajarkan: bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama
serta sedikit Ilmu Bumi Mesir dan Tarikh Islam. Lembaga-lembaga pendidikan
seperti pesantren sebagai basis perlawanan penjajahan Belanda.
b. Pendidikan
Islam di Minangkabau
Pendidikan Islam di Minangkabau mengalami perkembangan
yang pesat karena banyaknya buku-buku pelajaran agama Islam yang masuk ke sana.
Adapun susunan materi pendidikan Islam di Minangkabau antara lain:
1)
Belajar huruf Hijaiyah seperti
halnya di Aceh.
2)
Pengajian kitab yang terbagi atas
tiga tingkatan, yaitu:
·
Nahwu, Saraf, dan Fiqih;
·
Tauhid;
·
Tafsir;
3)
Pengajian ilmu Tasawuf, Mantiq, dan
Balaghah.
Sistem pendidikan yang digunakan masih seperti
masa-masa awal, yaitu halaqah dan sistem majelis taklim. Di
Minangkabau yang menjadi pusat pendidikan awal permulaan Islam adalah Surau.
Pada masa penjajahan Belanda mulai dibuat ruang-ruang berbentuk kelas,
dinamakan madrasah.
c. Pendidikan
Islam di Jambi
Pesantren Nurul Iman didirikan pada tahun1914 oleh H.
Abdul Samad seorang ulama besar di jambi. Pesantren ini juga berawal dari
system halaqah kemudian menggunakan kelas-kelas seperti madrasah modern.
Pelajarannya juga begitu, dari sekedar ilmu-ilmu agama kemudian memasukkan ilmu
umum yang dibimbing dua guru khusus.
2) Pendidikan
Aswaja di Pulau Jawa
a. Pendidikan
Islam di Jawa Timur
Pendidikan Islam yang cukup terkenal di Jawa Timur
pada masa penjajahan Belanda adalah Tebuireng, yaitu pesantren yang
didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1904 M. Pada mulanya hanya
diajarkan agama dan bahasa Arab, kemudian setelah berdiri madrasah salafiyah
memasukkan ilmu-ilmu umum, seperti ilmu bintang, ilmu bumi dan lain-lain.
Pondok Pesantren Tebuireng terdiri atas empat
bagian, yaitu: Madrasah Ibtidaiyah (lamanya 6 tahun), Madrasah Tsanawiyah (3
tahun), Mualimin (5 tahun), Pesantren dengan sistem halaqah.
Pendidikan Islam di Jawa Timur pada masa penjajahan
Belanada tidak terlepas dari pengaruh organisasi Nahdhatul Ulama yang
didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (3 Januari 1926) di Surabaya.
b. Pendidikan
Islam di Jawa Tengah
Lembaga Pendidikan Islam di Jawa Tengah yang paling
berpengaruh berpusat di sekitar Kudus. Ratusan pondok pesantren dan madrasah
tersebar di seluruh pelosok Kudus, antara lain: Aliyatus-Saniyah Muawanatul
Muslimin, Kudsiyah, Tsywiqut Tullab Balai Tengahan School, Mahidud Diniyah
Al-Islamiyah Al-Jawiyah, dan lain-lain.
c. Pendidikan
Islam di Yogyakarta
Pendidikan Islam di Yogyakarta pada masa penjajahan
Belanda banyak didominasi oleh organisasi Muhammadiyah. Diantaranya yang
terkenal adalah Kweekschool Muhammadiyah, Mualimat Muhammadiyah, Zuama, Tabligh
School, dan H.I.K. Muhammadiyah. Model pendidikannya dengan menggabungkan
antara pelajaran umum dengan agama. Selain Muhammadiyah juga ada pondok
pesantren Krapyak.
d. Pendidikan
Islam di Jawa Barat
Madrasah pertama adalah yang didirikan di Majalengka
pada tahun 1917 oleh Perserikatan Umat Islam. Pondok Pesantren yang cukup
berpengaruh adalah PP Gunung Puyuh di Sukabumi. Selain itu juga ada pondok
pesantren Persatuan Islam (Persis), pondok ini terdiri dari dua bagian, yaitu Pesantren
Besar (untuk para santri yang telah cukup umur untuk mendapatkan pendidikan
agama) dan Pesantren Kecil (untuk anak-anak kecil yang pelaksanaannya di
sore hari).
e. Pendidikan
Islam di Batavia
Madrasah tertua di Batavia adalah Jamiat Kheir
yang didirikan tahun 1905. Tingkatan sekolahnya antara lain: tingkat Tahdiriyah
(1 tahun), tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), tingkat Tsanawiyah (3
tahun), Bagi lulusan terbaik Tsanawiyah bisa melanjutkan ke Mesir atau
Mekkah. Madrasah lain yang juga punya andil besar bagi pendidikan Islam adalah madrasah
Al-Irsyad yang didirikan pada tahun 1913.
3) Pendidikan
Islam di Sulawesi
Tidak banyak perbedaan tentang pendidikan Islam di
Sulawesi dengan di Jawa dan Sumatera. Hal ini disebabkan karena sumber yang
sama, yaitu Mekkah. Kebanyakan madrasah di Sulawesi pada mulanya dipimpin oleh
guru-gur agama dari Minangkabau dan Yogyakarta. Madrasah yang cukup terkenal di
Sulawesi Selatan adalah madrasah Amiriyah Islamiyah di Bone. Mata
pelajaran yang diberikan di madrasah ini meliputi pelajaran agama dan pelajaran
umum.
Madrasah Amiriyah Islamiyah terdiri atas tiga bagian, yaitu:
a.
Ibtidaiyah, lama belajarnya tiga tahun, diajrakan ilmu agama 50%;
b.
Tsanawiyah, lama belajarnya tiga tahun, diajarkan ilmu agama 60%;
c.
Muallimin, lama belajarnya dua tahun, diajarkan ilmu agama 80%.
Tokoh yang cukup berpengaruh dalam mengembangkan pendidikan Islam di Sulawesi, antara lainadalah Syekh H. M. As’ad bin H. A. Rasyad Bugis. Madrasah yang didirikannya bernamaWajo Tarbiyah Islamiyah yang dikemudian hari berubah menjadi Madrasah As’adiyah.
4) Pendidikan
Islam di Kalimantan
Madrasah yang tertua yang memiliki andil besar dalam
perjalanan sejarah pendidikan Islam di Kalimantan pada masa penjajahan Belanda
adalah madrasah Najah Wal Falah di Sei Bakau Besar Mempawah. Didirikan
pada tahun 1918 M., setelah itu berdiri madrasah Perguruan Islam Assulthaniyah
di Sambas pada tahun 1922 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar