Minggu, 24 Juli 2016

Makalah Hujjah Amaliyah Nahdliyah



HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH
Dosen : Nur Rohman, S.Pd., M.Si.



                                     Oleh, 
Nama                                                NIM
1. Avinda Putri Sebtiyani                 151120001668
2. Maunatun Zulfa                            151120001663
3. Nita Ayu Pratama LD                   151120001673
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
2016





KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hujjah Amaliyah Nahdliyah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si. selaku Dosen mata kuliah Agama II (Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,  mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
           
                                                                                                Jepara, 8 Juni 2016
                                                                                    Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................
Daftar Isi.......................................................................................................
BAB I Pendahuluan......................................................................................
1.1. Latar Belakan Masalah..........................................................................
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................
1.3. Tujuan....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................
2.1. Pengertian Hujjah Amaliyah Nahdliyah................................................
A. Hujjah......................................................................................................
B. Amaliyah..................................................................................................
C. Nahdliyah.................................................................................................
2.2 Membedah Tradisi..................................................................................
A. Makna Sebuah Tradisi.............................................................................
B. Hukum Melanggar Tradisi.......................................................................
2.3. Macam-Macam Tradisi..........................................................................
A. Tradisi Ngapati, Mitoni/ Tingkepan........................................................
B. Mengiringi Jenazah Dengan Bacaan Tahlil.............................................
C. Hukum Melakukan Talqin Mayit............................................................
1. Talqin Saat Sakaratul Maut.................................................................
2. Talqin Saat Pemakaman Jenazah........................................................
D. Hukum Selamatan 7 Hari Kematian.......................................................
E. Jamuan Makan Kepada Pentakziyah.......................................................
F. Tahlil Fida'...............................................................................................
G. Membaca Al-Qur'an di Kuburan.............................................................
H. Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara.................................................
I. Tradisi Tahlilan.........................................................................................
3
3
4
5
5
5
5
5
5
5
6
7
7
9
10
10
10
14
15
17
18
20
21




BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
            Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja, dan bukan secara kebetulan. Banyak tradisi yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat seperti, ngapati, mitoni, tingkepan, tahlil, talqin, ziarah kubur, dan lain-lain.Tradisi tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun terdapat hadits-hadits yang menguatkannya. Sebenarnya tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam khususnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.Namun banyak dari umat Muslim tidak mengetahui sejarah adanya tradisi yang ada.
            Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai hadits-hadits yang membedah tradisi yang sudah menjadi karakter dari Ahlussunnah Wal Jamaah.Hadits-hadits tersebut sebagai bukti bahwa tradisi keagamaan yang telah disebutkan tadi sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu untuk memberikan pengetahuan kepada umat Muslim supaya memahami asal mula adanya tradisi-tradisi tersebut sehingga dapat membantah tuduhan dari kaum-kaum tertentu yang menyebut bahwa apa yang dilakukan kaum Muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bid’ah.
1.2              RumusanMasalah
Bagaimana dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam :
·         Tradisi Ngapati, mitoni atau tingkepan ?
·         Mengiringi Jenazah dengan bacaan tahlil?
·         Melakukan Talqin Mayit pada saat sakaratul maut dan pada saat pemakaman?
·         Hukum selamatan tujuh hari kematian?
·         Jamuan makan kepada para pentakziah?
·         Melakukan tahlil fida’?
·         Membaca Al-Qur’an di kuburan?
·         Dzikir bersama dan mengeraskan suara?
·         Melakukan tradisi tahlilan?
1.3              Tujuan
Untuk mengetahui dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam tentang :
·         Tradisi Ngapati, mitoni/tingkepan
·         Mengiringi Jenazah dengan bacaan tahlil
·         Melakukan Talqin Mayit pada saat sakaratul maut dan pada saat pemakaman
·         Hukum selamatan tujuh hari kematia
·         Jamuan makan kepada para pentakziah
·         Melakukan tahlil fida’
·         Membaca Al-Qur’an di kuburan
·         Dzikir bersama dan mengeraskan suara
·         Melakukan tradisi tahlilan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Pengertian Hujjah Amaliyah Nahdliyah
A.  Hujjah
Istilah Hujjah banyak digunakan di dalam Al-Qur’an dan literatur islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja “berhujjah” diartikan sebagai “memberi alasan-alasan”. Hujjah dalam bahasa artinya keterangan, alasan, bukti, tanda, dalil alasan atau argumentasi.
B.  Amaliyah
Amaliyah yaitu segala hal yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah.
C.  Nahdliyah
Nahdliyah artinya warga Nahdlatul Ulama.
2.2.  Membedah Tradisi
A.  Makna Sebuah Tradisi
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang disengaja, dan bukan terjadi secara kebetulan. Dalam hal ini, Syaikh Shalih bin Ghanim al-Sadlan, ulama dari Saudi Arabia, berkata:
وفي درر الحكام شرح مجلة الاحكام العدلية قال: العادة هي الامر الذي يتقرر في النفوس ويكون مقبولاعند ذوىالطباع السليمة. (الشيخ ضالح بن غانم السدلان, القواعد الفقهية الكبرى وماتفرق عنها ص\٣٣٣
“Dalam kitab Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah berkata: “Adat (tradisi) adalah sesuatu yang menjadi keputusan pikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter yang normal.”(al-Qawai’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafarra’a ‘anha, hal 333).
B.    Hukum Melanggar Tradisi Masyarakat
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam halini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah, berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibn ‘Aqil dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecualiyang haram, karena Rasulullah SAW telah memebiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa jahiliyah...” Sayyidina Umar bekata: “seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menembah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam didalamnya.”Imam Ahmad bin Hambal meninggalkan dua reka’at sebelum magrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam al-Fushul disebutkan tentang du reka’at sebelum Magrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hambal pada awalnya melakukannya , namun kemudian meninggalkannnya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hambal juga memakruhkanmelakukan qadha’shalat di mushalla pada waktu shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.”(Al-Imam Ibn Muflih al-Hambali,al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal.47).
2.3. Macam-macam Tradisi
A.    Tradisi Ngapati, Mitoni atau Tingkepan
Ngapati dan Ngupati adalah ucapan selamatan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan motoni atau tingkepan (melet kandung) adalah ucapan selamatan ketika kandungan berusia 7 bulan. Ucapan selamatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat menjadi anak yang salih.
Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim AS yang mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir:
رَبَّنَاوَاجْعَلْنَامُسْلِمَيْنِلَكَوَمِنْذُرِّيَّتِنَاأُمَّةًمُسْلِمَةًلَكَ
“Ya Tuhan kami,jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antaraanak cucu kami umat yang tunduk patuh kapada Engkau. ,” (QS. Al-Baqarah:128).
Al-Qur’an juga menganjurkan kita agar selalu berdoa:
رَبَّنَاهَبْلَنَامِنْأَزْوَاجِنَاوَذُرِّيَّاتِنَاقُرَّةَأَعْيُنٍوَاجْعَلْنَالِلْمُتَّقِينَإِمَاماً
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kamidan keturunan kami sebagai penyenag hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan:74).
            Di sisi lain, Nabi SWT juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau.         Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih berikut ini:
عَنْأَنَسِبْنِمَالِكٍرضياللهعنهقَالَ: كَانَابْنٌلِأَبِيطَلْحَةَيَشْتَكِيفَخَرَجَأَبُوطَلْحَةَفَقُبِضَالصَّبِيُّفَلَمَّارَجَعَأَبُوطَلْحَةَقَالَمَافَعَلَابْنِيقَالَتْأُمُّسُلَيْمٍهُوَأَسْكَنُمَاكَانَفَقَرَّبَتْإِلَيْهِالْعَشَاءَفَتَعَشَّىثُمَّأَصَابَمِنْهَافَلَمَّافَرَغَقَالَتْوَارُواالصَّبِيَّفَلَمَّاأَصْبَحَأَبُوطَلْحَةَأَتَىرَسُولَاللهِصلىاللهعليهوسلمفَأَخْبَرَهُفَقَالَأَعْرَسْتُمْاللَّيْلَةَقَالَنَعَمْقَالَاللَّهُمَّبَارِكْلَهُمَافَوَلَدَتْغُلَامًا. (رواهالبخاريومسلم)
            “Anas bin Malik  AS berkata:  “Abu Thalhah memiliki seorang anak laki-laki yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah AbuThalhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makan malam, sehingga Abu Thalhah pun makan malam. Selain makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah SWT dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi SWT bertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi SWT berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Suliam melahirkan anak laki-laki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            Di sisi lain, ketika seseorang di antara kita memiliki bayi dalam kandungan, tentu kita mendambakan agar buah hati kita lahir ke dunia dalam keadaan sempurna, selamat, sehat wal afiyat, serta menjadi anak salih sesuai dengan harapan keluarga dan agama.
  Selain itu, para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika memepunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi seorang ulama ahli hadits dan fikih madzhab al-Syafi’i, berkata:
يُسْتَحَبُّأَنْيَتَصَدَّقَبِشَيْءٍأَمَامَالْحَاجَاتِمُطْلَقًا. (المجموعشرحالمهذب٤/٢٦٩). وَقَالَأَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّاْلإِكْثَارُمِنَالصَّدَقَةِعِنْدَاْلأُمُوْرِالْمُهِمَّةِ. (المجموعشرحالمهذب٦/٢٣٣).
“Disunnahkan  bersedekah sekedarnya ketika mempunyai hajat apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal.269). Para ulama kami berkata, ‘Disunnahkan memeperbanayak sedekah ketika menghadapiurusan-urusan yang penting,” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal.233).
Bersedekah pada masa-masa kehamilan, juga dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hambal, penditi madzab Hambali. Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hambali menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hambal, suatu riwayat berikut ini:
Imam al-Khallal berkata, “ Kami menerima kabar dari Muhammad bin Ali bin Bahar, berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan anak-anakal-Imam Ahmad bin Hambal, berkata, “Aku berkata kepada tuanku (Ahmad bin Hambal), “Tuanku, bagaimana kalau gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad menjawab,” Kamu rela melepasnya?” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memeberimu pertolonganuntuk melakukannya.”Husnu berkata, ”Lalu gelang kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Husnu bin Shahih dan dijualnya seharga 8 dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang pada saat kehamilanku. Setelah aku melahirkan Hasan, tuanku memeberi hadiah uang 1 Dirham kepada Karramah, wanita tua yang menjadi pelayan kami.”
            Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ucapan selamatan pada masa-masa kehamilan seperti ngapati ketika kandunagan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusia 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, bahkan subtansinya dianjurkan dan pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hambal, pendiri madzhab Hambali, madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.
B.    Mengirim Jenazah Dengan Bacaan Tahlil
Mengirim jenazah dengan bacaan tahlil adalah boleh, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW berdasarkan hadits berikut ini:
“Ibn Umar berkata, “Tidak pernah mendengar  dari Rasulullah SAW ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La Ilaaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”
C.    Hukum Melakukan Talqin Mayit
   Seperti dijelaskan oleh KH Muhyiddin Abdussomad dalm Hujjah NU, terdapat dua jenis talqin yang dianjurkan dalam islam, yaitu talqin saat sakarat al-maut dan talqin saat pemakaman jenazah. Penjelasan dan dalil masing-masing jenis talqin tersebut adalah sebagi berikut:
1)      Talqin saat sakarat al-maut.
Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan halitu disunnahkan. Berdasarkan Hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:
عَنْأَبِيسَعِيدٍالْخُدْرِيِّيَقُولُاقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَقِّنُوامَوْتَاكُمْلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُ
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah SAW bersabdah, “Talqinkanlah orangyang akan mati di antara kamu dengan ucapan la ‘ilaha illa Allah”. (HR.Muslim [1523]).
        Sekelompok pengikut Imam al-Syafi’i menganjurkan agar bacaan tersebut ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah saw. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak perlu ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal.83).
2)     Talqin saat pemakaman jenazah
            Imam al-Nawawi dalm al-Adzkar menjelaskan bahwa memebaca
talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah.
Didasarkan pada sabdah Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Ummah:
عَنْ أَبِي أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اِذَا اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوْى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشَدَنَا يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لَاتَشْعُرُوْنَ فَلْ يَقُل اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَتَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وُاِنَّكَ رَصَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِااْلاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِااْلقُرْاَنِ اِمَامًا فَاِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلَ اللهِ فَاِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ اِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ: بَا فُلَانُ بْنُ حَوَاءَ (رواه الطبرني في المعجم كبير،٧٩٧٩، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه احكام تمني ٩ بدون اي تعليق).
“Dari Abi Umamah ra, beliau berkata, “Jikakelak aku telah meninggal dunia,maka perlakukanlah aku sebagiman Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kepada kit, seraya bersabdah, “Ketika diantra kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah diatas kuburannya,  maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiripada bagian kepala kuburan itu seraya berkata,”Wahi fulan bin fulanah”. Orang yang berada dalm kuburan pasti mendengar apayang kamu ucapkan,namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiridi kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang ada di atas kuburan itu berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat padamu.namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan ini).” (Karena itu) hendaklah orangyang berdiri diatas kuburan itu berkata , “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntut jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat  Mukar dan Nakir saling berpegang tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa,”Wahai fulan bin Hawa.”(HR.al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal.9 tanpa ada komentar).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin itu termasuk hadits dhai’if , karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.
Kaitannya dengan Firman Allah SWT:
وَمَاأَنْتَبِمُسْمِعٍمَنْفِيالْقُبُورِ
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiadasanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.”(QS. Fathir:22).
Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati akan sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati.(Tafsir al-Khazin, juz V, hal.347).
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu Rasulullah SAW melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin.
            Hadist tentang kesunnahan mentalqin mayyit juga dikutip oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam Majmu’ al-Fatawa dan Syaiqh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Nadji dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut. Hadits yang diriwayatkan oleh oleh al-Imm al-Thabarani dalaam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Imam Ibn Mandah tersebut adalah:
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيْرِ وَابْنُ مَنْدَةَ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: "إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ, فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ, فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ, ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلاَن َبِنْ فَلاَنَةْ, فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فَلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فُلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ, وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ, فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةُ اللهِ أَنْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا, وَبِاْلاِسْلاَمَ دِيْنًا, وَبِمُمَحَمَّدٍ نَبِيَّا, وَبِالْقُرْآنَ إِمَامًا, فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ, وَيَقُوْلُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ, فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا", فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ, فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ: فَيَنْسُبُهُ اِلَى حَوَّاءَ, يَا فُلاَنَ بِنْ حَوَّاءَ". (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي, أحكام تمني الموت ص 19)
“Al-Thabarani telah meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu Umamah dari Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang saudara kamu meninggal dunia, lalu kalian meratakan tanah diatas makamnya, maka hendaklah salah seorang dari kamu berdiri dibagian kepalanya , dan katakanlah, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar dan menjawab panggilan itu. Kemudian katakan, “Wahai fulan bin fulanah”, maka ia akan duduk dengan sempurna. Kemudian katakan, “wahai fulan dan fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata, “Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak menyadarinya. Lalu katakanlah, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan Allah, bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebaagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat itu, Malaikat Munkar dan Nakir akan saling berpegangan tangan dan berkata, “Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang yang telah dituntun jawabanya.” Nantinya Allah akan memberikan jawaban terhadap kedua Malaikat itu.” Seorang laki-laki bertanya, “wahai Rasulullah, jika ibu mayit itu tidak diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada hawwa, “Wahai Fuln bin Hawwa”.
Keterangan: kitab Ahkam Tamanni al-Maut adalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabi. Kitab ini diterbitkan oleh Universitas Ibn Saud, Riyadh, Saudi Arabia, dan telah diteliti oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, dua ulama senior kaum wahabi yang kharismatik di Saudi Arabia. Terbitnya kitab Ahkam Tamanni al-Maut ini menggemarkan dunia pemikiran Wahabi, karen tanpa disadari oleh mereka, isi kitab yang mereka terbikan ini mengandung hadist-hadist yang bertentangan dengan ajaran dan ideologi kaum Wahabi selama ini. Akhirnya tanpa dalil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, Syaikh Shalih al-Fauzan tokoh Wahabi yang sangat fanatik, berfatwa bahwa kitab ini palsu, bukan tulisan pendiri Wahabi.
D.    Hukum Selamatan 7 Hari Kematian
            Dikalangan masyarakat kita ada tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan selama 7 hari, yang dihadiri para tetangga, kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan tahlilan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut dilakukan pula pada ke 40, 100, 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan haul. Berkaitan dengan tradisi selamatan selama 7 hari, ada atsar (riwayat) dari ulama salaf berikut ini:
“Dari Sufyan, “Imam Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut”
            Syaikh Nawawi al-Bantani seorang ulama mutaakhirin, menjelaskan penentuan sedekah melalui tradisi tahlil pada hari-hari tertentu ini merupakan kebiasaan masyarakat (al-‘adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ketujuh, duapuluh dan ketika genap empatpuluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh syaikh kita Yusuf al Sunbulawini.”
            Bahkan menyikapi atsar Imam Thawus yang diriwayatkan dari Sufyan tersebut di atas, Imam Ahmad bin Hanbal r.a dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari tersebut adalah sunnah. Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan prbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi petama (masa sahabat)
            Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.
E.    Jamuan Makanan Kepada Para Penta’ziyah
            Dalam masyarakat kita ada tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga menyiapkan hidangan makanan yang disuguhkan kepada para pentakziyah. Tradisi ini sesuai dengan atsar dari ulama salaf diatas. Selain itu juga, sesuai dengan hadist  mauquf dari Sayyidina Umar berikut ini:
“Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar berkata: “Apabila seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaib yang menjadi imam sholat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang takziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah (Umar), ternayata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.”
Selain itu, bolehnya menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah, didasarkan pada hadist:
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعَمْرٍورَضِيَاللَّهُعَنْهُمَاأَنَّرَجُلًاسَأَلَالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَيُّالْإِسْلَامِخَيْرٌقَالَتُطْعِمُالطَّعَامَوَتَقْرَأُالسَّلَامَعَلَىمَنْعَرَفْتَوَمَنْلَمْتَعْرِفْ
“Dari Abdullah bin Amr, “Ada seorang laki-laki beranya pada Nabi SAW, “Perbuatan apaka yang paling baik?Rasulullah SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR. Al-Bukhori 11).
Lebih jelasnya lagi, menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah itu dijelaskan dalam hadist Nabi SAW berikut ini:
“Diriwayatkan oleh Ashim bin Kulayb dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah dan di saat itu saya melihat beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda, “Luaskan bagian kaki dan kepalanya”. Setelah Rasulullah pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “ Aku merasa daging kambing ini diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah sembari berkata, “ Wahai Rasulullah saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’, (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui istrinya dan ia pun mengirim kambingnya kepada saya. Rasulullah kemudian bersabda, “ Berikan makanan ini kepada para tawanan.”
            Berdasarkan hadist inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata, “Hadist ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisannya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.”
Mengenai keputusan Rasulullah memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridlanya atas daging itu belum ditemukan. Sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah memberi makanan tersebut kepada ppara tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang telah disuguhkan tersebut.
F.     Tahlil Fida’( Tebusan)
            Ada tradisi di sebagian masyarakat kita, ketika ada keluarga meninggal dunia, maka dibacakan tahlil (la ilaha illallah) sebanyak 70.000,. kali dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit agar terbebas dari siksa neraka. Hal tersebut distilahkan dengan Tahlil fida’ atau tebusan. Hal demikian itu boleh dilakukan, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, panutan utama kaum wahabi,dalam Majmu’ al-Fatawa-nya berikut ini:
وسئل:عمنهللسبعينألفمرة،وأهداهللميتيكونبراءةللميتمنالنارحديثصحيحأملا‏؟‏وإذاهللالإنسانوأهداهإلىالميتيصلإليهثوابه،أملا‏؟‏فأجاب‏: إذاهللالإنسانهكذا‏:‏سبعونألفاً،أوأقل،أوأكثر،وأهديتإليه،نفعهاللهبذلك،وليسهذاحديثاصحيحاً،ولاضعيفاً‏.‏واللهأعلم‏.‏مجموعفتاوىابنتيمية
"Syaikh Ibn Taimiyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000,. kali dan dihadiahkan kepada mayit, agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal itu hadist shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahala sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “ Apabila seseorang membaca tahlil sekian; 70.000,. atau kurang, dan atau lebih, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka hadiah tersebut bermanfaat baginya, dan ini bukan hadist shahih dan bukan hadist dhaif. Wallahu a’lam.”
G.   Membaca Al-Qur’an di Kuburan
            Seringkali kita jumpai, kaum Muslimin berziarah ke makam para wali maupun makam orang tua, lalu membaca al-Qur’an di sisi makam yang dimaksud. Hal tersebut boleh dan baik untuk dilakukan. Bahkan membaca al-Qur’an di kuburan termasuk tradisi kaum salaf (sejak generasi sahabat). Al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah,murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, berkata:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧
” Telah disebutkan dari sekelompokk ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an disisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa belau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata,” al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bi Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “ Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tunanetra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam itu, Muhammad bin Qudamah berkatakepada Ahmad bin Hanbal, “ Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat anda tentang Mubasysyir al-Halabi?”  Ia menjawab, “ Dia perawi yang tsiqah ( dapat dipercaya).”Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?”Ahmad menjawa, “ Ya.” Muhammad bin Qudammah berkata” Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasannya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah,” Kembalilah di sampiing makam itu.”Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab tidak aa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkat, “ Kaum Ansharapabiala keluarga mereka ada yang meninggal maka mereka selalu mendatangi makamnyauntuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.”
                                   Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga menyampaikann beberapa riwayat membaca al-Qur’an ketika di Makam kaum muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah,Qul huwallahunahad (al-Ikhlas) dan alhakumuttakasur (al-Takatsur), kemudian mengatakan: “ Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum berian laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal-, meriwayatkan hadist dengan sanadnya dari Anas bin Malik secaara marfu’:” Barang siapa mendatangi kuuburan, lalu membacaa surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksa mereka,, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.”
H.    Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara
            Ada sebuah tradisi di tengah-tengah masyarakat kita,, apabila berzikir baik selesai shalat, maupun dalam acara ritual tahllil dan lain-lain, dilakukan secara bersama-sama dan mengeraskan suara. Hal tersebut tidak mengurang padala dzikir, bahkan dianjurkan untuk dilakukan dan terus ditradisikan. Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syiah Zaidiyah dalam kitabnya Nail al-Authhar yang menjadi rujukanotoritatif kalangan Salafi di Indonesia sejak dulu, menulis sebuah kitab berjudul al-Ijtima’ ‘ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi ( Dzikir berjamaah dan mengeraskan suara). Dalam kitab tersebut, setelah menyetir sekian banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir, al-Imam al-Syaukani berkata:
“Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebuut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau memelankan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.”
            Bahkan berkaitan dengan dzikir dengan cara mengeraskan suara setelah shalat fardhu, ada hadist shahih berikut ini:
“Dari Abu Ma’bad, bahwa Ibn Abbas mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika selesai shalaat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi. Ibn Abbas berkata,” Aku mengetahui selesai shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras berdzikir.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            Berkaitan dengan dzikir secara berjamaah, ada sekian banyak hadist yang menganjurkannya, antara lain hadist berikut ini:
“Syaddad bin Aus berkata,”Kami bersabda Rasulullah, tiba-tiba beliau berkata,”Apakah diantara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” Kami mrnjawab,”Tidak ada wahai Rasulullah.”Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata,”Angkatlah tangan kalian, lalu katakan La ilaha illahhah!” Kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian kalian meletakkan tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memeritahkannya kepadaku dan menjanjikan surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Thabarani dan al-Bazzar).
I.       Tradisi Tahlilan
            Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat islamIndonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran islam, misalnya membaca surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya. Oleh karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah.
            Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir dan doa itu  adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak  pernah dilaksanakan pada masa  Rosulallah. Begitu  pula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang  didasarkan ada hadist shahih  seperti, hadist “Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau diatas kuburannya, dan membaca al-Qur’an  secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.
            Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh hadist Nabi Diantaranya adalah:
عَنْأَبِيْسَعِيْدٍاَلْخُدْرِيِّقاَلَرَسُوْلُاللهِصَلَّياللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلاَيَقْعُدُقَوْمٌيَذْكُرُوْنَاللهَعَزَّوَجَلَّإِلَّاحَفَّتْهُمُاْلمَلَائِكَةُوَغَشِيَهُمُالرَّحْمَةُوَنَزَلَتْعَلَيْهِمُالسَّكِيْنَةُوَذَكَرَهُمُاللهُفِيْمَنْعِنْدَهُ ( رواهمسلم, ۴۸۶۸)
“ Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasullah bersabda, “ Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berzikir kepada Allah kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah akan memberikan rahmat-Nya kepda mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinnya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR.al-Muslim[4868]).
                        Imam al-Syafi’i memang pernah mengatakan: “Dan aku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.”
                        Perkataan Imam Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.
                        Ma’tam tidak disenangi oleh Imam Syafi’i adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah. Dan itu sama sekali tidak terjadibagi orang yang melakukan tahlilan yang didalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan itudisebut sebagai majlis al-Dzikr.
                        Bagi shahibul musibah (orang yang terkena musibah), tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan itu sedikit.
                        Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Saabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan sebagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakaisebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan keteenangaan jiwa.
                        Tarkiat susunan tahlil, sebagaimana maklum, terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an, tahlil, tasbih,tahmid, shalawat dan lain-lain. Komposisi bacaan tahlilan yang terdiri dari beragam dzikir ini telah berlangsung sejak berabat-abat yang lalu. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, ulama panutan utama kaum Wahabi, pernah ditanya tentang ritual seperti tahlilan tersebut, dan beliau membenarkan serta menganjurkannya. Dalam hal ini Ibn Tamiyah berkata:
وَسُئِلَ: عَنْرَجُلٍيُنْكِرُعَلَىأَهْلِالذِّكْرِيَقُولُلَهُمْ : هَذَاالذِّكْرُبِدْعَةٌوَجَهْرُكُمْفِيالذِّكْرِبِدْعَةٌوَهُمْيَفْتَتِحُونَبِالْقُرْآنِوَيَخْتَتِمُونَثُمَّيَدْعُونَلِلْمُسْلِمِينَالْأَحْيَاءِوَالْأَمْوَاتِوَيَجْمَعُونَالتَّسْبِيحَوَالتَّحْمِيدَوَالتَّهْلِيلَوَالتَّكْبِيرَوَالْحَوْقَلَةَوَيُصَلُّونَعَلَىالنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلم؟فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُلِذِكْرِاللهِوَاسْتِمَاعِكِتَابِهِوَالدُّعَاءِعَمَلٌصَالِحٌوَهُوَمِنْأَفْضَلِالْقُرُبَاتِوَالْعِبَادَاتِفِيالْأَوْقَاتِفَفِيالصَّحِيحِعَنْالنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلمأَنَّهُقَالَ : ( إنَّللهِمَلَائِكَةًسَيَّاحِينَفِيالْأَرْضِفَإِذَامَرُّوابِقَوْمِيَذْكُرُونَاللهَتَنَادَوْاهَلُمُّواإلَىحَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَالْحَدِيثَوَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْيُسَبِّحُونَكوَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّامُحَافَظَةُالْإِنْسَانِعَلَىأَوْرَادٍلَهُمِنْالصَّلَاةِأَوْالْقِرَاءَةِأَوْالذِّكْرِأَوْالدُّعَاءِطَرَفَيْالنَّهَارِوَزُلَفًامِنْاللَّيْلِوَغَيْرُذَلِكَ : فَهَذَاسُنَّةُرَسُولِاللهِصلىاللهعليهوسلموَالصَّالِحِينَمِنْعِبَادِاللهِقَدِيمًاوَحَدِيثًا. (مجموعفتاوىابنتيمية،٢٢/٥٢٠).

 “Ibn Tamiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.”Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah)dan shalawat kepada Nabi?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab:”Berjamaah dan berdzikir, mendengarka al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurban dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam shahih al-Bukhari,Nabibersabda,”Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu berpergian dimuka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mwereka memanggil,”Silahkan sampaikan hajat kalian “, lanjutan hadist tersebut terdapat redaksi,”Kami menemukan mereka bertasbih dab bertauhid kepada-Mu”...Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah dan hamba-hamba Allah yang shalih, zaman dulu dan sekarang.”(Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22 hal50).
  Pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah diatas memberikan ksimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
  Dalam tradisi tahlilan, tuan rumah biasanya menyuguhkan makanan setelah doa dipanjatkan. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, hal ini merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang terpuji.26 Sabda Nabi:
“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah kemudian saya bertanya,”Wahai Rasul, apakah Islam itu?”Rasul menjawab,”Bertukat kata yang baik dan menyuguhkan makanan.”(HR.Ahmad[18617]).
  Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah, jangankan makanan,, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dallam sebuah hadist shahih disebutkan:
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apaakah ada maanfaatnya jikaaku bersedekah untuknya?”Rasulullah menjawab”Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebagian kebun maka aku mempersiapkan kepdamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut ataas nama ibuku.”(HR.Tirimidzi [605]).
  Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amaal yang dihadiahkan untuk mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa dan haji. Adapun pahala membacakan al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.”(Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal.142).
  Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam islam. Sabda Rasulullah:
“Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allahdan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.”(HR.Muslim [5559]).
   Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi taamu datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, udah seharusnya lebih dihormti dan diperhatikan.
  Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan dengan berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang laiin. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
  Lain halnya jika kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Salama tidak israf (berlebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagaai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluaarga yang telah meninggal.
  Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakuakan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah. Dan jika ada sebaagian dari ucaapan tahlilmu itu menyimpang dari ketentuaan syara’ maka tugaas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Dalam menghadapi merebaknya paham-paham yang berseberangan dengan aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah pada masyarakat, kita harus mempunyai argumen yang kuat untuk meyakinkan bahwa kegiatan seperti mitoni, ngapati, tahlil, selamatan tujuh hari, serta kegiatan yang ada di lingkungan kita sebenarnya boleh saja dilakukan dan tidak termasuk bid’ah jika dilakukan hanya untuk Allah SWT. Dan kegiatan tersebut sudah ada dalil masing-masing untuk memperkuat argumen.
3.2 Saran
            Semoga dengan membaca dan mempelajari makalah ini dapat menambah wawasan kita dalam beragama, serta menmperkuat iman kita bahwa tradisi yang ada dalam masyarakat kita seperti mitoni, ngapati, tahlilan boleh dilakukan karena sudah ada dalil yang mendasari . Dan itu sudah ada sejak pada jaman Nabi SAW.
Kita sebagai umat islam yang menganut islam nusantara sebaiknya kita jaga, pelihara dan merawat agama kita dengan mengkaji dan memahami agama islam dengan sebenar-benarnya agar kita bahagia dunia akhirat.

1 komentar: