HUJJAH AMALIYAH
NAHDLIYAH
Dosen : Nur Rohman, S.Pd., M.Si.
Nama NIM
1. Avinda Putri Sebtiyani 151120001668
2. Maunatun Zulfa 151120001663
3. Nita Ayu Pratama LD 151120001673
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
2016
Puji syukur kehadirat Allah SWT
karena dengan rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Hujjah Amaliyah
Nahdliyah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si. selaku Dosen mata kuliah Agama II
(Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah.Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya
makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan.
Jepara,
8 Juni 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................
Daftar Isi.......................................................................................................
BAB I Pendahuluan......................................................................................
1.1. Latar Belakan Masalah..........................................................................
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................
1.3. Tujuan....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................
2.1. Pengertian Hujjah Amaliyah Nahdliyah................................................
A. Hujjah......................................................................................................
B. Amaliyah..................................................................................................
C. Nahdliyah.................................................................................................
2.2 Membedah Tradisi..................................................................................
A. Makna Sebuah Tradisi.............................................................................
B. Hukum Melanggar Tradisi.......................................................................
2.3. Macam-Macam Tradisi..........................................................................
A. Tradisi Ngapati, Mitoni/ Tingkepan........................................................
B. Mengiringi Jenazah Dengan Bacaan Tahlil.............................................
C. Hukum Melakukan Talqin Mayit............................................................
1. Talqin Saat Sakaratul Maut.................................................................
2. Talqin Saat
Pemakaman Jenazah........................................................
D. Hukum
Selamatan 7 Hari Kematian.......................................................
E. Jamuan Makan Kepada Pentakziyah.......................................................
F. Tahlil Fida'...............................................................................................
G. Membaca Al-Qur'an di Kuburan.............................................................
H. Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara.................................................
I. Tradisi Tahlilan.........................................................................................
|
3
3
4
5
5
5
5
5
5
5
6
7
7
9
10
10
10
14
15
17
18
20
21
|
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang
dengan disengaja, dan bukan secara kebetulan. Banyak tradisi
yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat seperti, ngapati, mitoni,
tingkepan, tahlil, talqin, ziarah kubur, dan lain-lain.Tradisi tersebut tidak
terjadi secara kebetulan, namun terdapat hadits-hadits yang menguatkannya.
Sebenarnya tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam khususnya
Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.Namun banyak dari
umat Muslim tidak mengetahui sejarah adanya tradisi yang ada.
Untuk itu dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai hadits-hadits yang membedah tradisi
yang sudah menjadi karakter dari Ahlussunnah Wal Jamaah.Hadits-hadits tersebut
sebagai bukti bahwa tradisi keagamaan yang telah disebutkan tadi sesuai dengan
syariat Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu untuk memberikan
pengetahuan kepada umat Muslim supaya memahami asal mula adanya tradisi-tradisi
tersebut sehingga dapat membantah tuduhan dari kaum-kaum tertentu yang menyebut
bahwa apa yang dilakukan kaum Muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bid’ah.
1.2
RumusanMasalah
Bagaimana dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di
masyarakat menurut syariat Islam :
·
Tradisi Ngapati, mitoni atau
tingkepan ?
·
Mengiringi Jenazah dengan bacaan
tahlil?
·
Melakukan Talqin Mayit pada saat
sakaratul maut dan pada saat pemakaman?
·
Hukum selamatan tujuh hari kematian?
·
Jamuan makan kepada para pentakziah?
·
Melakukan tahlil fida’?
·
Membaca Al-Qur’an di kuburan?
·
Dzikir bersama dan mengeraskan
suara?
·
Melakukan tradisi tahlilan?
1.3
Tujuan
Untuk
mengetahui dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat
Islam tentang :
·
Tradisi Ngapati, mitoni/tingkepan
·
Mengiringi Jenazah dengan bacaan
tahlil
·
Melakukan Talqin Mayit pada saat
sakaratul maut dan pada saat pemakaman
·
Hukum selamatan tujuh hari kematia
·
Jamuan makan kepada para pentakziah
·
Melakukan tahlil fida’
·
Membaca Al-Qur’an di kuburan
·
Dzikir bersama dan mengeraskan suara
·
Melakukan tradisi tahlilan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hujjah
Amaliyah Nahdliyah
A. Hujjah
Istilah
Hujjah banyak digunakan di dalam Al-Qur’an dan literatur islam yang bermakna
tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja “berhujjah”
diartikan sebagai “memberi alasan-alasan”. Hujjah dalam bahasa artinya
keterangan, alasan, bukti, tanda, dalil alasan atau argumentasi.
B. Amaliyah
Amaliyah
yaitu segala hal yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat,
puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah.
C. Nahdliyah
Nahdliyah
artinya warga Nahdlatul Ulama.
2.2. Membedah Tradisi
A. Makna Sebuah Tradisi
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang
disengaja, dan bukan terjadi secara kebetulan. Dalam hal ini, Syaikh Shalih bin
Ghanim al-Sadlan, ulama dari Saudi Arabia, berkata:
وفي درر الحكام شرح مجلة الاحكام العدلية قال: العادة هي
الامر الذي يتقرر في النفوس ويكون مقبولاعند ذوىالطباع السليمة. (الشيخ ضالح بن
غانم السدلان, القواعد الفقهية الكبرى وماتفرق عنها ص\٣٣٣
“Dalam kitab Durar
al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah berkata: “Adat (tradisi) adalah
sesuatu yang menjadi keputusan pikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang
yang memiliki karakter yang normal.”(al-Qawai’id
al-Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafarra’a ‘anha, hal 333).
B.
Hukum
Melanggar Tradisi Masyarakat
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal
yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam
halini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah,
berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي
الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ
فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي
الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ
أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا،
وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ
إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا
يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ
وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ
مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي،
الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibn ‘Aqil dalam
kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecualiyang haram,
karena Rasulullah SAW telah memebiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu
tidak baru saja meninggalkan masa-masa jahiliyah...” Sayyidina Umar bekata:
“seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menembah al-Qur’an, aku akan
menulis ayat rajam didalamnya.”Imam Ahmad bin Hambal meninggalkan dua reka’at
sebelum magrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam al-Fushul disebutkan
tentang du reka’at sebelum Magrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hambal pada awalnya
melakukannya , namun kemudian meninggalkannnya, dan beliau berkata, “Aku
melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hambal juga memakruhkanmelakukan
qadha’shalat di mushalla pada waktu shalat id (hari raya). Beliau berkata,
“Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.”(Al-Imam
Ibn Muflih al-Hambali,al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal.47).
2.3. Macam-macam Tradisi
A.
Tradisi
Ngapati, Mitoni atau Tingkepan
Ngapati
dan Ngupati adalah ucapan selamatan ketika
kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan motoni atau tingkepan (melet
kandung) adalah ucapan selamatan ketika kandungan berusia 7 bulan. Ucapan
selamatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan
nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat menjadi anak yang salih.
Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita
agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam
al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim AS yang mendoakan anak cucunya yang
masih belum lahir:
رَبَّنَاوَاجْعَلْنَامُسْلِمَيْنِلَكَوَمِنْذُرِّيَّتِنَاأُمَّةًمُسْلِمَةًلَكَ
“Ya Tuhan
kami,jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) di antaraanak cucu kami umat yang tunduk patuh kapada Engkau. ,” (QS.
Al-Baqarah:128).
Al-Qur’an
juga menganjurkan kita agar selalu berdoa:
رَبَّنَاهَبْلَنَامِنْأَزْوَاجِنَاوَذُرِّيَّاتِنَاقُرَّةَأَعْيُنٍوَاجْعَلْنَالِلْمُتَّقِينَإِمَاماً
“Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kamidan keturunan kami sebagai penyenag
hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Al-Furqan:74).
Di sisi lain, Nabi SWT juga
mendoakan janin sebagian sahabat beliau. Sebagaimana
diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih berikut ini:
عَنْأَنَسِبْنِمَالِكٍرضياللهعنهقَالَ: كَانَابْنٌلِأَبِيطَلْحَةَيَشْتَكِيفَخَرَجَأَبُوطَلْحَةَفَقُبِضَالصَّبِيُّفَلَمَّارَجَعَأَبُوطَلْحَةَقَالَمَافَعَلَابْنِيقَالَتْأُمُّسُلَيْمٍهُوَأَسْكَنُمَاكَانَفَقَرَّبَتْإِلَيْهِالْعَشَاءَفَتَعَشَّىثُمَّأَصَابَمِنْهَافَلَمَّافَرَغَقَالَتْوَارُواالصَّبِيَّفَلَمَّاأَصْبَحَأَبُوطَلْحَةَأَتَىرَسُولَاللهِصلىاللهعليهوسلمفَأَخْبَرَهُفَقَالَأَعْرَسْتُمْاللَّيْلَةَقَالَنَعَمْقَالَاللَّهُمَّبَارِكْلَهُمَافَوَلَدَتْغُلَامًا. (رواهالبخاريومسلم)
“Anas
bin Malik AS berkata: “Abu Thalhah memiliki seorang anak laki-laki
yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak
kecil itu meninggal dunia. Setelah AbuThalhah pulang, beliau bertanya kepada
isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab,
“Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan
makan malam, sehingga Abu Thalhah pun makan malam. Selain makan malam, keduanya
melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh
orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Thalhah
mendatangi Rasulullah SWT dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi SWT
bertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Lalu
Nabi SWT berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Suliam melahirkan
anak laki-laki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Di sisi lain, ketika seseorang di
antara kita memiliki bayi dalam kandungan, tentu kita mendambakan agar buah
hati kita lahir ke dunia dalam keadaan sempurna, selamat, sehat wal afiyat,
serta menjadi anak salih sesuai dengan harapan keluarga dan agama.
Selain itu, para ulama menganjurkan agar kita
selalu bersedekah ketika memepunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam
hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi seorang ulama ahli hadits dan fikih madzhab
al-Syafi’i, berkata:
يُسْتَحَبُّأَنْيَتَصَدَّقَبِشَيْءٍأَمَامَالْحَاجَاتِمُطْلَقًا. (المجموعشرحالمهذب٤/٢٦٩). وَقَالَأَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّاْلإِكْثَارُمِنَالصَّدَقَةِعِنْدَاْلأُمُوْرِالْمُهِمَّةِ. (المجموعشرحالمهذب٦/٢٣٣).
“Disunnahkan bersedekah sekedarnya ketika mempunyai hajat
apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal.269). Para ulama kami
berkata, ‘Disunnahkan memeperbanayak sedekah ketika menghadapiurusan-urusan
yang penting,” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz
6, hal.233).
Bersedekah
pada masa-masa kehamilan, juga dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin
Hambal, penditi madzab Hambali. Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hambali
menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib
al-Imam Ahmad bin Hambal, suatu riwayat berikut ini:
Imam
al-Khallal berkata, “ Kami menerima kabar dari Muhammad bin Ali bin Bahar,
berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan anak-anakal-Imam Ahmad bin
Hambal, berkata, “Aku berkata kepada tuanku (Ahmad bin Hambal), “Tuanku,
bagaimana kalau gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad
menjawab,” Kamu rela melepasnya?” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang
telah memeberimu pertolonganuntuk melakukannya.”Husnu berkata, ”Lalu gelang
kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Husnu bin Shahih dan dijualnya seharga 8
dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang pada saat
kehamilanku. Setelah aku melahirkan Hasan, tuanku memeberi hadiah uang 1 Dirham
kepada Karramah, wanita tua yang menjadi pelayan kami.”
Dari paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa ucapan selamatan pada masa-masa kehamilan seperti ngapati ketika kandunagan berusia 4
bulan atau tingkepan ketika kandungan
berusia 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, bahkan subtansinya dianjurkan dan
pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hambal, pendiri madzhab
Hambali, madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.
B. Mengirim Jenazah Dengan
Bacaan Tahlil
Mengirim
jenazah dengan bacaan tahlil adalah boleh, bahkan ada riwayat yang menyebutkan
bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW berdasarkan hadits berikut
ini:
“Ibn Umar berkata,
“Tidak pernah mendengar dari Rasulullah
SAW ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La Ilaaha Illallah, pada waktu
berangkat dan pulangnya.”
C. Hukum Melakukan Talqin
Mayit
Seperti dijelaskan oleh KH Muhyiddin Abdussomad dalm Hujjah NU, terdapat dua jenis talqin
yang dianjurkan dalam islam, yaitu talqin saat sakarat al-maut dan talqin saat pemakaman jenazah. Penjelasan dan
dalil masing-masing jenis talqin tersebut adalah sebagi berikut:
1) Talqin saat sakarat
al-maut.
Yakni
mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di
tenggorokan, dan halitu disunnahkan. Berdasarkan Hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:
عَنْأَبِيسَعِيدٍالْخُدْرِيِّيَقُولُاقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَقِّنُوامَوْتَاكُمْلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُ
“Dari
Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah SAW bersabdah, “Talqinkanlah orangyang akan
mati di antara kamu dengan ucapan la ‘ilaha illa Allah”. (HR.Muslim
[1523]).
Sekelompok pengikut Imam al-Syafi’i
menganjurkan agar bacaan tersebut ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah saw. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak
perlu ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi
al-Imam al-Nawawi, hal.83).
2)
Talqin
saat pemakaman jenazah
Imam al-Nawawi dalm al-Adzkar menjelaskan bahwa memebaca
talqin
untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah.
Didasarkan
pada sabdah Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Ummah:
عَنْ أَبِي أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اِذَا
اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ
فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ
ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ
ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوْى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ
يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشَدَنَا يَرْحَمُكَ اللهُ
وَلَكِنْ لَاتَشْعُرُوْنَ فَلْ يَقُل اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ
الدُّنْيَا شَهَادَتَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ وُاِنَّكَ رَصَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِااْلاِسْلَامِ دِيْنًا
وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِااْلقُرْاَنِ اِمَامًا فَاِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا
يَأْخُذُ كُلَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا
مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلَ
اللهِ فَاِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ اِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ:
بَا فُلَانُ بْنُ حَوَاءَ (رواه الطبرني في المعجم كبير،٧٩٧٩، ونقله الشيخ محمد بن
عبد الوهاب في كتابه احكام تمني ٩ بدون اي تعليق).
“Dari Abi Umamah ra,
beliau berkata, “Jikakelak aku telah meninggal dunia,maka perlakukanlah aku
sebagiman Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada kit, seraya bersabdah, “Ketika diantra kamu
ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah diatas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu
berdiripada bagian kepala kuburan itu seraya berkata,”Wahi fulan bin fulanah”.
Orang yang berada dalm kuburan pasti mendengar apayang kamu ucapkan,namun
mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiridi kuburan) berkata
lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk
dalam kuburannya. Orang yang ada di atas kuburan itu berucap, “Berilah kami
petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat padamu.namun kamu tidak
merasakan (apa yang aku rasakan ini).” (Karena itu) hendaklah orangyang berdiri
diatas kuburan itu berkata , “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia,
engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad
hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu
ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai
Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntut jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin
ini) malaikat Mukar dan Nakir saling
berpegang tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk
(untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian
berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW,
“Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah
menjawab “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa,”Wahai fulan bin
Hawa.”(HR.al-Thabarani dalam al-Mu’jam
al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut
dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal.9
tanpa ada komentar).
Mayoritas
ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin itu termasuk hadits dhai’if , karena ada seorang perawinya yang tidak cukup
syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.
Kaitannya
dengan Firman Allah SWT:
وَمَاأَنْتَبِمُسْمِعٍمَنْفِيالْقُبُورِ
“Dan engkau (wahai
Muhammad) sekali-kali tiadasanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat
mendengar.”(QS. Fathir:22).
Yang
dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang
yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang
diserupakan orang mati akan sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut
adalah metaforis (bentuk majaz) dari
hati mereka yang mati.(Tafsir al-Khazin,
juz V, hal.347).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang
membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh
dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan
salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu
Rasulullah SAW melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin.
Hadist tentang kesunnahan mentalqin
mayyit juga dikutip oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam Majmu’ al-Fatawa dan Syaiqh Muhammad bin
Abdul Wahhab al-Nadji dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut. Hadits yang
diriwayatkan oleh oleh al-Imm al-Thabarani dalaam al-Mu’jam al-Kabir dan
al-Imam Ibn Mandah tersebut adalah:
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي
الْكَبِيْرِ وَابْنُ مَنْدَةَ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: "إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ,
فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ, فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ
قَبْرِهِ, ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلاَن َبِنْ فَلاَنَةْ, فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ
وَلاَ يُجِيْبُ, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فَلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَسْتَوِي
قَاعِدًا, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فُلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَقُوْلُ:
أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ, وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ, فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا
خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةُ اللهِ أَنْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ,
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا,
وَبِاْلاِسْلاَمَ دِيْنًا, وَبِمُمَحَمَّدٍ نَبِيَّا, وَبِالْقُرْآنَ إِمَامًا,
فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ,
وَيَقُوْلُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ,
فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا", فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ,
فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ: فَيَنْسُبُهُ اِلَى حَوَّاءَ, يَا فُلاَنَ
بِنْ حَوَّاءَ". (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي, أحكام تمني الموت ص 19)
“Al-Thabarani
telah meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu Umamah
dari Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang saudara kamu meninggal
dunia, lalu kalian meratakan tanah diatas makamnya, maka hendaklah salah
seorang dari kamu berdiri dibagian kepalanya , dan katakanlah, “Wahai fulan bin
fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar dan menjawab panggilan itu. Kemudian
katakan, “Wahai fulan bin fulanah”, maka ia akan duduk dengan sempurna.
Kemudian katakan, “wahai fulan dan fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata,
“Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak
menyadarinya. Lalu katakanlah, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar
dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, bahwa Muhammad
utusan Allah, bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai
agama, Muhammad sebaagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat
itu, Malaikat Munkar dan Nakir akan saling berpegangan tangan dan berkata,
“Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang yang telah dituntun
jawabanya.” Nantinya Allah akan memberikan jawaban terhadap kedua Malaikat
itu.” Seorang laki-laki bertanya, “wahai Rasulullah, jika ibu mayit itu tidak
diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada hawwa, “Wahai Fuln bin Hawwa”.
Keterangan: kitab Ahkam Tamanni al-Maut
adalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabi. Kitab ini
diterbitkan oleh Universitas Ibn Saud, Riyadh, Saudi Arabia, dan telah diteliti
oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman al-Jibrin, dua ulama senior kaum wahabi yang kharismatik di Saudi
Arabia. Terbitnya kitab Ahkam Tamanni
al-Maut ini menggemarkan dunia pemikiran Wahabi, karen tanpa disadari oleh
mereka, isi kitab yang mereka terbikan ini mengandung hadist-hadist yang
bertentangan dengan ajaran dan ideologi kaum Wahabi selama ini. Akhirnya tanpa
dalil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, Syaikh Shalih al-Fauzan
tokoh Wahabi yang sangat fanatik, berfatwa bahwa kitab ini palsu, bukan tulisan
pendiri Wahabi.
D.
Hukum
Selamatan 7 Hari Kematian
Dikalangan masyarakat kita ada
tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan
selama 7 hari, yang dihadiri para tetangga, kerabat dan handai taulan dengan
ritual bacaan tahlilan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal
itu. Selamatan tersebut dilakukan pula pada ke 40, 100, 1000 harinya. Lalu
diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan haul. Berkaitan dengan tradisi
selamatan selama 7 hari, ada atsar (riwayat) dari ulama salaf berikut ini:
“Dari Sufyan, “Imam
Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur
selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah
makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut”
Syaikh Nawawi al-Bantani seorang
ulama mutaakhirin, menjelaskan
penentuan sedekah melalui tradisi tahlil pada hari-hari tertentu ini merupakan
kebiasaan masyarakat (al-‘adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh
telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke
tiga dari kematian, hari ketujuh, duapuluh dan ketika genap empatpuluh hari
serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya.
Sebagaimana disampaikan oleh syaikh kita Yusuf al Sunbulawini.”
Bahkan menyikapi atsar Imam Thawus
yang diriwayatkan dari Sufyan
tersebut di atas, Imam Ahmad bin Hanbal r.a dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari tersebut
adalah sunnah. Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan
perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
Kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan prbuatan yang tetap berlaku hingga
sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang
jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW
sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi
petama (masa sahabat)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat
dibenarkan.
E.
Jamuan
Makanan Kepada Para Penta’ziyah
Dalam masyarakat kita ada tradisi,
ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga menyiapkan hidangan makanan
yang disuguhkan kepada para pentakziyah. Tradisi ini sesuai dengan atsar dari
ulama salaf diatas. Selain itu juga, sesuai dengan hadist mauquf dari Sayyidina Umar berikut ini:
“Al-Ahnaf bin Qais
berkata, “Aku pernah mendengar Umar berkata: “Apabila seseorang dari suku
Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak
mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar ditikam, lalu beliau
berwasiat agar Shuhaib yang menjadi imam sholat selama tiga hari dan agar
menyuguhkan makanan pada orang-orang yang takziyah. Setelah orang-orang pulang
dari mengantarkan jenazah (Umar), ternayata hidangan makanan telah disiapkan,
tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti
mereka.”
Selain
itu, bolehnya menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah, didasarkan
pada hadist:
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعَمْرٍورَضِيَاللَّهُعَنْهُمَاأَنَّرَجُلًاسَأَلَالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَيُّالْإِسْلَامِخَيْرٌقَالَتُطْعِمُالطَّعَامَوَتَقْرَأُالسَّلَامَعَلَىمَنْعَرَفْتَوَمَنْلَمْتَعْرِفْ
“Dari Abdullah bin Amr,
“Ada seorang laki-laki beranya pada Nabi SAW, “Perbuatan apaka yang paling
baik?Rasulullah SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik
kepada orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR.
Al-Bukhori 11).
Lebih
jelasnya lagi, menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah itu dijelaskan
dalam hadist Nabi SAW berikut ini:
“Diriwayatkan oleh
Ashim bin Kulayb dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata,
“Saya pernah melayat bersama Rasulullah dan di saat itu saya melihat beliau
menasehati penggali kubur seraya bersabda, “Luaskan bagian kaki dan kepalanya”.
Setelah Rasulullah pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan (istri yang
meninggal). Rasulullah memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau.
Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah mulai makan lalu
diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut,
beliau bersabda, “ Aku merasa daging kambing ini diambil tanpa izin
pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah sembari
berkata, “ Wahai Rasulullah saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’, (suatu
tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya.
Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing,
agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia
tidak ada. Maka saya menyuruh menemui istrinya dan ia pun mengirim kambingnya
kepada saya. Rasulullah kemudian bersabda, “ Berikan makanan ini kepada para
tawanan.”
Berdasarkan hadist inilah, Syaikh
Ibrahim al-Halabi berkata, “Hadist ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit
membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan
kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisannya ada
yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.”
Mengenai
keputusan Rasulullah memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat
dijadikan alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang
berta’ziyah. Rasulullah menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena
orang yang akan dimintai ridlanya atas daging itu belum ditemukan. Sedangkan
makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah memberi makanan
tersebut kepada ppara tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing
yang telah disuguhkan tersebut.
F.
Tahlil
Fida’( Tebusan)
Ada tradisi di sebagian masyarakat
kita, ketika ada keluarga meninggal dunia, maka dibacakan tahlil (la ilaha illallah) sebanyak 70.000,.
kali dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit agar terbebas dari siksa neraka.
Hal tersebut distilahkan dengan Tahlil
fida’ atau tebusan. Hal demikian itu boleh dilakukan, sebagaimana ditegaskan
oleh Syaikh Ibn Taimiyah, panutan utama kaum wahabi,dalam Majmu’ al-Fatawa-nya berikut ini:
وسئل:عمنهللسبعينألفمرة،وأهداهللميتيكونبراءةللميتمنالنارحديثصحيحأملا؟وإذاهللالإنسانوأهداهإلىالميتيصلإليهثوابه،أملا؟فأجاب: إذاهللالإنسانهكذا:سبعونألفاً،أوأقل،أوأكثر،وأهديتإليه،نفعهاللهبذلك،وليسهذاحديثاصحيحاً،ولاضعيفاً.واللهأعلم.مجموعفتاوىابنتيمية
"Syaikh
Ibn Taimiyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000,. kali dan
dihadiahkan kepada mayit, agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal
itu hadist shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu
dihadiahkan kepada mayit, apakah pahala sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “
Apabila seseorang membaca tahlil sekian; 70.000,. atau kurang, dan atau lebih,
lalu dihadiahkan kepada mayit, maka hadiah tersebut bermanfaat baginya, dan ini
bukan hadist shahih dan bukan hadist dhaif. Wallahu a’lam.”
G.
Membaca
Al-Qur’an di Kuburan
Seringkali kita jumpai,
kaum Muslimin berziarah ke makam para wali maupun makam orang tua, lalu membaca
al-Qur’an di sisi makam yang dimaksud. Hal tersebut boleh dan baik untuk
dilakukan. Bahkan membaca al-Qur’an di kuburan termasuk tradisi kaum salaf
(sejak generasi sahabat). Al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah,murid terdekat Syaikh
Ibn Taimiyah, berkata:
وَقَدْ
ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ
قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ
بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ
رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ
وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ
مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ
وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ
الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ
يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ
الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا
عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ
كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا
دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا
وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ
وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ
الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ
فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ
اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ
يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧.
”
Telah disebutkan dari sekelompokk ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar
dibacakan al-Qur’an disisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq
berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa belau berwasiat agar dibacakan surat
al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah
al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata,” al-Hasan bin Ahmad al-Warraq
mengabarkan kepadaku, “Ali bi Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia
seorang yang dipercaya. Ia berkata, “ Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad
bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan,
seorang laki-laki tunanetra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad
berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam
itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam itu, Muhammad bin Qudamah
berkatakepada Ahmad bin Hanbal, “ Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat anda
tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia
menjawab, “ Dia perawi yang tsiqah ( dapat dipercaya).”Muhammad bin Qudamah
berkata, “Anda menulis riwayat darinya?”Ahmad menjawa, “ Ya.” Muhammad bin
Qudammah berkata” Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin
al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasannya ia berwasiat, apabila ia
dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah
kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad
berkata kepada Muhammad bin Qudamah,” Kembalilah di sampiing makam
itu.”Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada
al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab tidak
aa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkat, “ Kaum
Ansharapabiala keluarga mereka ada yang meninggal maka mereka selalu mendatangi
makamnyauntuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.”
Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab juga menyampaikann beberapa riwayat membaca al-Qur’an
ketika di Makam kaum muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
وَأَخْرَجَ
سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ
الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ،
وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ
جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ
عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ
الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ
بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد
بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad
al-Zanjani meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa
mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah,Qul huwallahunahad (al-Ikhlas)
dan alhakumuttakasur (al-Takatsur), kemudian mengatakan: “ Ya Allah, aku
hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum berian laki-laki dan perempuan
di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz
–murid al-Imam al-Khallal-, meriwayatkan hadist dengan sanadnya dari Anas bin
Malik secaara marfu’:” Barang siapa mendatangi kuuburan, lalu membacaa surah
Yasin, maka Allah akan meringankan siksa mereka,, dan ia akan memperoleh pahala
sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.”
H. Dzikir Bersama dan
Mengeraskan Suara
Ada sebuah tradisi di
tengah-tengah masyarakat kita,, apabila berzikir baik selesai shalat, maupun
dalam acara ritual tahllil dan lain-lain, dilakukan secara bersama-sama dan
mengeraskan suara. Hal tersebut tidak mengurang padala dzikir, bahkan dianjurkan
untuk dilakukan dan terus ditradisikan. Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani,
ulama Syiah Zaidiyah dalam kitabnya Nail
al-Authhar yang menjadi rujukanotoritatif kalangan Salafi di Indonesia
sejak dulu, menulis sebuah kitab berjudul al-Ijtima’
‘ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi ( Dzikir berjamaah dan mengeraskan suara).
Dalam kitab tersebut, setelah menyetir sekian banyak ayat al-Qur’an tentang
dzikir, al-Imam al-Syaukani berkata:
“Ini adalah himpunan
ayat-ayat al-Qur’an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebuut
tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan,
meninggikan atau memelankan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat
tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.”
Bahkan berkaitan dengan
dzikir dengan cara mengeraskan suara setelah shalat fardhu, ada hadist shahih
berikut ini:
“Dari Abu Ma’bad, bahwa
Ibn Abbas mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika
selesai shalaat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi. Ibn Abbas berkata,”
Aku mengetahui selesai shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras
berdzikir.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Berkaitan dengan dzikir
secara berjamaah, ada sekian banyak hadist yang menganjurkannya, antara lain
hadist berikut ini:
“Syaddad
bin Aus berkata,”Kami bersabda Rasulullah, tiba-tiba beliau berkata,”Apakah
diantara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” Kami mrnjawab,”Tidak ada wahai
Rasulullah.”Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata,”Angkatlah
tangan kalian, lalu katakan La ilaha illahhah!” Kami mengangkat tangan beberapa
saat, kemudian kalian meletakkan tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah
meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah, sesungguhnya
Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memeritahkannya kepadaku
dan menjanjikan surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi
janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah
mengampuni kalian.” (HR. Ahmad, al-Hakim,
al-Thabarani dan al-Bazzar).
I.
Tradisi
Tahlilan
Berkumpul untuk
melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun
oleh mayoritas umat islamIndonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan
secara langsung oleh Rasulullah, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena
tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran
islam, misalnya membaca surat Yasin, tahlil,
tahmid, tasbih dan semacamnya. Oleh karena itu, pelaksanaan tahlilan secara
esensial merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah.
Imam al-Syaukani mengatakan bahwa
setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca
al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah
perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak
pernah dilaksanakan pada masa
Rosulallah. Begitu pula tidak ada
larangan untuk menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang
yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan ada hadist shahih seperti, hadist
“Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu”. Tidak ada bedanya apakah
pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau
diatas kuburannya, dan membaca al-Qur’an
secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di
rumah.
Kesimpulan al-Syaukani ini memang
didukung oleh hadist Nabi Diantaranya adalah:
عَنْأَبِيْسَعِيْدٍاَلْخُدْرِيِّقاَلَرَسُوْلُاللهِصَلَّياللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلاَيَقْعُدُقَوْمٌيَذْكُرُوْنَاللهَعَزَّوَجَلَّإِلَّاحَفَّتْهُمُاْلمَلَائِكَةُوَغَشِيَهُمُالرَّحْمَةُوَنَزَلَتْعَلَيْهِمُالسَّكِيْنَةُوَذَكَرَهُمُاللهُفِيْمَنْعِنْدَهُ ( رواهمسلم, ۴۸۶۸)
“
Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasullah bersabda, “ Tidaklah berkumpul
suatu kaum sambil berzikir kepada Allah kecuali mereka akan dikelilingi
malaikat, dan Allah akan memberikan rahmat-Nya kepda mereka, memberikan
ketenangan hati dan memujinnya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR.al-Muslim[4868]).
Imam
al-Syafi’i memang pernah mengatakan: “Dan aku tidak senang pada “ma’tam” yakni
adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah
beban.”
Perkataan
Imam Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena
dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam
yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah
kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.
Ma’tam tidak disenangi oleh Imam Syafi’i
adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan
mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima
terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah. Dan itu sama sekali tidak
terjadibagi orang yang melakukan tahlilan yang didalamnya terdapat dzikir dan
doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan
itudisebut sebagai majlis al-Dzikr.
Bagi
shahibul musibah (orang yang terkena musibah), tahlilan itu merupakan pelipur
lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi,
bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang
tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan
tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan itu sedikit.
Dari
sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar
untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah
yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Saabardila MA dosen
Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan
sebagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu
tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi
syarat yang bisa dipakaisebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat
serta mendatangkan keteenangaan jiwa.
Tarkiat
susunan tahlil, sebagaimana maklum, terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an,
tahlil, tasbih,tahmid, shalawat dan lain-lain. Komposisi bacaan tahlilan yang
terdiri dari beragam dzikir ini telah berlangsung sejak berabat-abat yang lalu.
Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, ulama panutan utama kaum Wahabi, pernah ditanya
tentang ritual seperti tahlilan tersebut, dan beliau membenarkan serta
menganjurkannya. Dalam hal ini Ibn Tamiyah berkata:
وَسُئِلَ: عَنْرَجُلٍيُنْكِرُعَلَىأَهْلِالذِّكْرِيَقُولُلَهُمْ : هَذَاالذِّكْرُبِدْعَةٌوَجَهْرُكُمْفِيالذِّكْرِبِدْعَةٌوَهُمْيَفْتَتِحُونَبِالْقُرْآنِوَيَخْتَتِمُونَثُمَّيَدْعُونَلِلْمُسْلِمِينَالْأَحْيَاءِوَالْأَمْوَاتِوَيَجْمَعُونَالتَّسْبِيحَوَالتَّحْمِيدَوَالتَّهْلِيلَوَالتَّكْبِيرَوَالْحَوْقَلَةَوَيُصَلُّونَعَلَىالنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلم؟” فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُلِذِكْرِاللهِوَاسْتِمَاعِكِتَابِهِوَالدُّعَاءِعَمَلٌصَالِحٌوَهُوَمِنْأَفْضَلِالْقُرُبَاتِوَالْعِبَادَاتِفِيالْأَوْقَاتِفَفِيالصَّحِيحِعَنْالنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلمأَنَّهُقَالَ : ( إنَّللهِمَلَائِكَةًسَيَّاحِينَفِيالْأَرْضِفَإِذَامَرُّوابِقَوْمِيَذْكُرُونَاللهَتَنَادَوْاهَلُمُّواإلَىحَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَالْحَدِيثَوَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْيُسَبِّحُونَكوَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّامُحَافَظَةُالْإِنْسَانِعَلَىأَوْرَادٍلَهُمِنْالصَّلَاةِأَوْالْقِرَاءَةِأَوْالذِّكْرِأَوْالدُّعَاءِطَرَفَيْالنَّهَارِوَزُلَفًامِنْاللَّيْلِوَغَيْرُذَلِكَ : فَهَذَاسُنَّةُرَسُولِاللهِصلىاللهعليهوسلموَالصَّالِحِينَمِنْعِبَادِاللهِقَدِيمًاوَحَدِيثًا. (مجموعفتاوىابنتيمية،٢٢/٥٢٠).
“Ibn Tamiyah ditanya, tentang seseorang yang
memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian
ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.”Mereka memulai
dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid,
tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah)dan shalawat
kepada Nabi?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab:”Berjamaah dan berdzikir, mendengarka
al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurban dan ibadah yang paling
utama dalam setiap waktu. Dalam shahih al-Bukhari,Nabibersabda,”Sesungguhnya
Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu berpergian dimuka bumi. Apabila
mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka
mwereka memanggil,”Silahkan sampaikan hajat kalian “, lanjutan hadist tersebut
terdapat redaksi,”Kami menemukan mereka bertasbih dab bertauhid
kepada-Mu”...Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti
shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta
pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah
dan hamba-hamba Allah yang shalih, zaman dulu dan sekarang.”(Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22 hal50).
Pernyataan
Syaikh Ibn Taimiyah diatas memberikan ksimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan
komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil,
shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal
shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah
yang paling utama dalam setiap waktu.
Dalam
tradisi tahlilan, tuan rumah biasanya menyuguhkan makanan setelah doa
dipanjatkan. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, hal ini
merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain
adalah perbuatan yang terpuji.26 Sabda Nabi:
“Dari
Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah kemudian saya
bertanya,”Wahai Rasul, apakah Islam itu?”Rasul menjawab,”Bertukat kata yang
baik dan menyuguhkan makanan.”(HR.Ahmad[18617]).
Kaitannya
dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah, jangankan makanan,, kebun pun
(harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si
mayit. Dallam sebuah hadist shahih
disebutkan:
“Dari
Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya,”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apaakah ada maanfaatnya jikaaku
bersedekah untuknya?”Rasulullah menjawab”Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku
memiliki sebagian kebun maka aku mempersiapkan kepdamu bahwa aku akan
mensedekahkan kebun tersebut ataas nama ibuku.”(HR.Tirimidzi
[605]).
Ibnu
Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amaal yang
dihadiahkan untuk mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa dan
haji. Adapun pahala membacakan al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya
diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana
pahala puasa dan haji.”(Ibnu al-Qayyim,
al-Ruh, hal.142).
Jika
kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan
penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan
dalam islam. Sabda Rasulullah:
“Dari
Abi Hurairah, ia berkata,”Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang
beriman kepada Allahdan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata dengan kebaikan atau
(jika tidak bisa), diam.”(HR.Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan
bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan
baik, apalagi taamu datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, udah
seharusnya lebih dihormti dan diperhatikan.
Hanya
saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh
memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan dengan berhutang ke sana ke mari
atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang laiin. Hal tersebut
jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya perjamuan itu
diadakan ala kadarnya.
Lain
halnya jika kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Salama tidak israf (berlebihan dan menghamburkan
harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat
diperkenankan sebagaai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada
keluaarga yang telah meninggal.
Dan
yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakuakan tahlilan hendaknya menata
niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah. Dan
jika ada sebaagian dari ucaapan tahlilmu itu menyimpang dari ketentuaan syara’
maka tugaas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam menghadapi merebaknya
paham-paham yang berseberangan dengan aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah pada
masyarakat, kita harus mempunyai argumen yang kuat untuk meyakinkan bahwa
kegiatan seperti mitoni, ngapati, tahlil, selamatan tujuh hari, serta kegiatan
yang ada di lingkungan kita sebenarnya boleh saja dilakukan dan tidak termasuk bid’ah
jika dilakukan hanya untuk Allah SWT. Dan kegiatan tersebut sudah ada dalil
masing-masing untuk memperkuat argumen.
3.2 Saran
Semoga
dengan membaca dan mempelajari makalah ini dapat menambah wawasan kita dalam
beragama, serta menmperkuat iman kita bahwa tradisi yang ada dalam masyarakat
kita seperti mitoni, ngapati, tahlilan boleh dilakukan karena sudah ada dalil
yang mendasari . Dan itu sudah ada sejak pada jaman Nabi SAW.
Kita sebagai
umat islam yang menganut islam nusantara sebaiknya kita jaga, pelihara dan
merawat agama kita dengan mengkaji dan memahami agama islam dengan
sebenar-benarnya agar kita bahagia dunia akhirat.
Mohon sertakan daftar pustaka.. trimakasih :)
BalasHapus