PERSPEKTIF ASWAJA TEHADAP BID’AH
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ahlussunnah Waljama’ah
Nama Kelompok :
1.
Eko Cahyo Wulansari (151120001564)
2.
Devi Zahrotul Jannah (151120001742)
PENGAMPU
: Nur Rohman, S.Pd.,M.Si.
PRODI
AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perspektif
Aswaja terhadap Bid’ah” ini
dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pengampu matakuliah Agama 2 bapak Nur Rohman,S.Pd.,M.Si.
Makalah ini ditulis dari hasil
penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang
berkaitan dengan Aswaja, serta infomasi dari media massa yang berhubungan
dengan “Perspektif Aswaja terhadap Bid’ah” , tak lupa penyusun ucapkan
terima kasih kepada pengajar matakuliah Agama Ialam 2 atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca
makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah
wawasan kita mengenai “Perspektif Aswaja terhadap Bid’ah” dalam agama islam.
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Jepara, Juni 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ
ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
"Sesungguhnya
ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap
perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan
itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu dari
sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami
perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau
tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim
saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah
dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan
jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada
baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari
para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana sesuatu
permasalahan,hal,tindakan atau perilaku bisa dikatakan “BID’AH”?
2. Bagaimana pesan yang
disampaikan dalam makalah yang disusun oleh Penulis tentang”BID’AH” ini?
3. Bagaimana tanggapan dan
pendapat masyarakat ataupun para ulama tentang”BID’AH”?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah yang berjudul Perspektif Aswaja terhadap Bid’ah dalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian
bid’ah
2.
Untuk mengetahui macam-macam
bid’ah dalam agama Islam
3.
Untuk mengetahui hukum
perbuatan bid’ah
4.
Untuk mengetahui
penyebab-penyebab lahirnya bid’ah
5.
Untuk mengetahui bahaya bid’ah
bagi agama Islam
6.
Untuk mengetahui dalil-dalil
yang mencela bid’ah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah
yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa
(etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari
bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Artinya
adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara
Rasul- rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya
adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari
Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para
rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan
mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada
sebelumnya.
Ibtida’(membuat sesuatu yang baru) ada dua makna;
Ibtida’(membuat sesuatu yang baru) ada dua makna;
1.
Membuat
sesuatu yang baru dalam hal adat(urusan keduniaan),seperti penemuan-penemuan
modern,hal semacam ini boleh saja karena hukum asal dalam adat itu adalah
mubah.
2.
Membuat
sesuatu yang baru dalam agama,dan hal ini haram hukumnya.karena hukum asal
dalam agama adalah tawqif(terbatas pada apa yang diajarkan oleh syari’at).
Ada dua cara yang ditempuh para
ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.
1.
Segala hal yang tidak pernah
dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz
bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang
tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada
hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman
Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam:
1.
Bid'ah wajib.
2.
Bid'ah haram
3.
Bid'ah sunah
4.
Bid'ah makruh
5.
Bid'ah mubah
Adapun untuk
mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah
itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah
atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia
masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun
menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau
prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk
atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun
menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz
2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh
Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di
zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang
kebalikannya/buruk. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h.
394).
2.
Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus
Cara kedua yang ditempuh para ulama
untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut
syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya
berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan
bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz
bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah
bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu
Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang
tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan
ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah,
sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h.
223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh
para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka
terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati
ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika
megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang
menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap
perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang
dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam
Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,
"Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW
itu ada dua kategori:
1.
Perkara baru yang bertolak belakang
dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah
yang sesat (bid'ah dhalalah).
2.
Perkara baru yang termasuk baik
(hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau
Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al
Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab
Hilyatul Auliya'. 9/113)
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid
Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di
zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah
yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah
ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari
Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab
Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada
wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam
pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman ini
disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman
pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan
tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah
Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai
shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung
oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam,
bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya
bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu
termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan
dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada
dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu
bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu
bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan
Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki
pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah
berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak
belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan
dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan
Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang
tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan
kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang
terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via
email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh
bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai
perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan
pahala: beliau bersabda,
"Siapa
yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau
bersabda pula,
"Siapa
yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa
orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya
bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan
Umar,
"Ini
(shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".
Jika perbuatan itu termasuk katagori
kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji,
karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada
mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan
tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini
juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa
Umar bin Al Khaththab, beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga
Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut
adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW,
"Ikutilah
Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti
orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap
perkara baru adalah bid'ah"
Dipahami jika perkara itu bertolak
belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat
Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
2.2 Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah
Jumhur ulama (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat
imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi
dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari
Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al
Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi
yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal
yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib,
sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan
contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
- Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
- Bid'ah
haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya. - Bid'ah
sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at. - Bid'ah
makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an. - Bid'ah
mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar
pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
- Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,
نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Ini sebaik-baik bid'ah.
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,
"Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."
Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,
نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Inilah sebaik-baik bid'ah.
Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)
- Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang
dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan
perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,
"Bid'ah".
(HR. Bukhari dan Muslim) - Hadits-hadits
yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah
yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita
simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
- Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
- Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim
terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam,
masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara
semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka
yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat
dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal
itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar
dan aneh di kalangan umat Islam.
2.3 Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Perspektif Bid’ah Wahabi
2.3.1 Perspektif Wahabi Terhadap Bid’ah
Sejak awal,
pemahaman keagamaan Ibnu Abdul Wahab memang terkenal kaku dan puritan. Karena
saat Ibnu Abdul Wahab berumur sekitar 20-an tahun, dia memang sudah punya
kecenderungan untuk mencela praktik-praktik keagamaan masyarakat saat itu yang
dinilainya masuk dalam kategori syirik dan menyimpang. Dan akibat dari
pandangannya itu juga, ayah Ibnu Abdul Wahab sempat dipecat dari posisinya
sebagai Hakim. Sehingga tak pelak, Abdul Wahab, ayah dari Muhammad bin Abdul
Wahab, dan Sulaiman bin Abdul Wahab, kakak kandung Muhammad bin Abdul Wahab,
menjadi sebagian dari banyak orang yang paling keras mengkritik pemahaman
keagamaan Muhammad bin Abdul Wahab.
Di antara
doktrin-doktrin salafi-Wahaby ini adalah:
1.
doktrin tasyrik
yaitu menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian dari Syirik atau
menyekutukan Allah. Doktrin tasyrik ini misalkan memuat larangan agar umat
Islam tidak boleh mengangkat manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meningal, untuk dijadikan perantara dengan maksud mendekatkan diri kepada
Allah. Kemudian juga tidak boleh meminta
pertolongan atau tawassul kepada para wali dan orang saleh. Begitu pula kita
tidak boleh ziarah ke makam-makam orang saleh dan para Nabi untuk meminta do’a,
juga tidak boleh mensakralkan semua itu. Apabila seorang muslim melakukan semua
perkara-perkara yang telah disebutkan di atas, maka orang tersebut sudah
termasuk sebagai orang musyrik dan atau kafir sehingga halal atau bahkan wajib
diperangi
2. Bid’ah
Bid’ah
menurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik keagamaan yang tidak didasarkan atau
tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi.
Sehingga konsep bi’dah versi Wahabi ini biasanya dipasangkan sebagai lawan
negatif dari sunnah. Dengan demikian, menegakkan sunnah melibatkan tindakan
meninggalkan bid’ah. Kaum Wahabi tidak mengakui adanya bid’ah yang baik (bid’ah
hasanah), melainkan seluruh bid’ah itu adalah negatif dan didefinisikan secara
kronologis: bid’ah adalah seluruh praktik atau konsep keagamaan yang baru ada
setelah abad ketiga Hijriyah. Dengan demikian, periode perkembangan konsep atau
praktik keagamaan baru yang bisa diterima tidak hanya meliputi dua generasi pertama
kaum Muslim, yakni generasi sahabat dan tâbi‘în, tetapi juga periode para imam
empat mazhab fikih Sunni. Namun, melakukan tindakan taqlîd (mengikuti secara
konsisten salah satu dari empat mazhab fikih tersebut) dipandang sebagai bid’ah
selama hal itu melibatkan pemberian otoritas kepada segala sesuatu selain
al-Qur’an dan Sunnah.
Selain itu, bid’ah juga dipandang telah mencengkram kaum Muslim dalam
berbagai praktik lainnya yang lebih berbahaya. Di antara praktik-prakti
keagamaan yang dikategorikan sebagai bid’ah oleh Wahabi adalah memperingati
hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau yang biasa dikenal dengan “Maulid Nabi”.
Selain itu, praktik-praktik memperingati
kematian sesorang seperti haul atau tahlilan dalam rangka kematian seseorang
itu juga termasuk bid’ah menurut perspektif Wahabi.
2.3.2 Respon Nahdlatul Ulama (NU)
Tipologi
bid’ah, yaitu antara bid’ah sayyi’ah (buruk) dan bid’ah ḥasanah
(baik)sebagaimana dikenal ibn ‘Abd al-Salām, diikuti pula oleh NU. Di kalangan
NU,dikenal adanya beberapa ersuasi untuk menentukan baik-buruknya suatu bid’ah,
diantaranya: pertama, dukungan dari sebagian besar syariat dan sumbernya,
sehingga jika tidak ada dukungan ini, maka ia termasuk bid’ah yang buruk dan
sesat. Kedua, kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi
salaf, oleh karenanya jika amalan itu tidak bertentangan dengan preseden mereka,
maka ia tidak termasuk bid’ah yang wal Jama’ah (Aswaja) buruk. Ketiga,
kualifikasi yang ada (al-ahkām), sehingga jika suatu amalan tidak dapat
dimasukkan ke dalam kualifikasi ini, maka ia termasuk bid’ah. Berkenaan dengan
Hadis yang menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat (kullu bid’ah ḍalālah),
oleh kalangan NU hadis tersebut dipahami dalam pengertian bid’ah yang jelek,
bukan semua jenis bid’ah. Dalam salah satu keputusannya tahun 1930, NU menyatakan
bahwa berdiri ketika memperingati maulud Nabi, meskipun termasuk bid’ah,
merupakan ‘urf syar’i yang hukumnya sunnah. Salah satu sumber yang dirujuk
dalam fatwa ini (al-Fatāwā al-Ḥadīṡiyyah karya Ibn Ḥajar) bahkan secara jelas
menyatakan bahwa praktek berdiri tersebut adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya
tetapi ia merupakan bid’a (Rofii, 2015)h ḥasanah.
Bagi ulama NU, penyimpangan ajaran juga dapat terjadi dalam hal ketika sebuah
atau ersua pemahaman keagamaan diperoleh dari sumber dan metode yang tidak
dapat dibenarkan. Bagi banyak.kalangan Nahdliyin, pengetahuan agama,. Selain
yang dimiliki oleh para imam.mazhab, harus didasarkan atas metode yang telah
mereka gariskan dan merujuk kepada hasil ijtihad yang telah mereka kemukakan. Dalam
Muktamar ke-11 (9 Juni 1936 di Banjarmasin) ersua-12 (25 Maret 1937 diMalang),
masalah ini pernah diputuskan.Dalam keputusannya ditegaskan bahwaorang yang
merumuskan ersu Islam langsung dari dan menjalankan ajaran al-Qur’an dan Sunnah
dengan tanpa merujukkepada kitab-kitab fiqh dan ersuasive mazhab dinilai sesat
dan menyesatkan. Persoalan ini berkaitan dengan isu keharusan ijtihad/taqlid
dalam kesarjanaan Islam. Sikap NU yang memilih bertaqlid dan bermazhab dalam
hal ini tentu saja Kedua keputusan tersebut merujuk kepada otoritas yang sama,
yakni Kitab Tanwīr al-Qulūb. Berseberangan dengan pendirian dan praktekyang ada
dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah yang mengusung ijtihad. Dalam merespon
terjadinya apa yang dianggap bid’ah, NU lebih memilih cara ersuasive, yakni
dengan memberikan pengertian, ajakan serta argumentasi kepada pelaku, agar ia
dapat meninggalkan tindakan yang dipandang bid’ah. Hal tersebut dapat
juga
disimak dalam fatwa-fatwa Bahsul Masail yang berkaitan dengan persoalan amalan
bid’ah.
BAB II
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Diharapkan
dengan adanya makalah ini pembaca akan lebih dapat mencari tahu tentang
bid’ah yang diwajibkan dan diharamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bibliography
Hasan, A.
(2000). Membedah Akar Bid'ah. Jakarta Timur: Al kautsar.
Rofii, A.
(2015). HUKUM ISLAM DAN KESESATAN:FATWA-FATWA NAHDLATUL ULAMA TENTANG
PENYIMPANGAN AJARAN .
Shidqi, A.
(2013). Jurnal Pendidikan Islam. Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap
Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar