Minggu, 24 Juli 2016

Makalah NU dari masa ke masa



PERANAN NAHDLATUL ULAMA’ DARI MASA KE MASA




Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama 2 ( ASWAJA )
Dosen Pengampu : Pak Nur Rohman, S.Pd., M.Si.
Oleh :
1.     Nor Isma                                      ( 151120001640 )
2.     Sinox Tri Hidayati                       ( 151120001642 )
3.     Sri Wahyuni Almunawaroh         ( 151120001652 )
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLADUL ULAMA’
JEPARA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini guna melengkapi tugas Mata Kuliah Agama 2 ( Aswaja ) di Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ ( UNISNU ) Jepara.
 Makalah ini berisi materi tentang “Peranan Nahdlatul Ulama Dari Masa Ke Masa”. Yang akan menjabarkan tentang peranan NU masa penjajahan, kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, orde baru, orde lama, reformasi dan pasca reformasi.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca guna mendapatkan wawasan dan pengetahuan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan, Oleh karena itu penulis berharap kritikan, saran, dan masukan yang dapat membangun dari pembaca guna penyempurnaannya makalah menjadi lebih baik.
Demikian makalah yang kami buat, kami ucapkan terima kasih.
                                                                                   
                                                                                                Jepara, 23 Mei 2016
                                                                                                Penulis            
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nahdlatul Ulama’ yang berarti (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Peranan NU sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Seperti semangat kebangkitan bangsa Indonesia terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, munculah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran)  sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama NU (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
B.     Rumusan Pembahasan
1.    Bagaimana peranan NU pada masa penjajahan ?
2.    Bagaimana peranan NU pada masa kemerdekaan ?
3.    Bagaimana peranan NU mempertahankan kemerdekaan ?
4.    Bagaimana peranan NU pada masa orde lama ?
5.    Bagaimana peranan NU pada masa orde baru ?
6.    Bagaimana peranan NU pada masa reformasi ?
7.    Bagaimana peranan NU pada masa paska reformasi ?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui peranan NU pada masa penjajahan
2.      Untuk mengetahui peranan NU pada masa kemerdekaan
3.      Untuk mengetahui peranan NU mempertahankan kemerdekaan
4.      Untuk mengetahui peranan NU pada masa orde lama
5.      Untuk mengetahui peranan NU pada masa orde baru
6.      Untuk mengetahui peranan NU pada masa reformasi
7.      Untuk mengetahui peranan NU pada masa pasca reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Peranan NU Pada Masa Penjajahan
Nahdlatul Ulama dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman, juga didasari nilai-nilai ke-Indonesiaan dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada saat tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid Hasyim. Ide mendirikan MIAI tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab baik dilihat dari sudut historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi besar, tidak pernah lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak, bahkan masalah internasional. Tuntutan tersebut antara lain : Indonesia berparlemen, persoalan Palestina dan mencabut Guru Ordonantie tahun 1925.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non coorporation (tidak mau kerjasama) dengan belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau belandasehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan. Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa belanda).
B.     Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 7 September 1944Jepang mengalami kekalahan perangAsia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikankemerdekaan bagi Indonesia. Untukitu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62orang yang diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar danbentuk Negara.
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI yaitu 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah menguasai Medan, Padang, Palembang, Bandung dan semarang, sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan Inggris.
Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India.NU juga mendeklarasikan perang suci berjihad melawan penjajah bersama masyarakat lainnya.''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.Mereka mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat Islam membentuk laskar perang.Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi jihad.
C.    Peranan NU Mempertahankan Kemerdekaan
Pada saat itu, Nahdlatul Ulama mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Adapun isi resolusi jihad tersebut adalah :
1.      Kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
2.      Republik Indonesia sebagai satu – satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.
3.      Umat Islam Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan kawan – kawannya yang hendak menjajah Indonesia kembali.
4.      Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban Umat Islam.
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, terjadi sebuah pemberontakan massal, yang di dalamnya terdapat banyak pengikut Nahdlatul Ulama ikut terlibat aktif, di bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.
Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut, terbentuklah organisasi-organisasi perlawanan terhadap Belanda, antara lain Hizbullah di bawah pimpinan KH. Zainul Arifin dan Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masjkur.
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut terbentuklah organisasi – organisasi perlawanan terhadap belanda antara lain Hisbullah dan Sabilillah. KH. Abdul Wahid Hasyim dan beberapa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-in (parlemen buatan jepang).Jepang mengizinkan Nahdlatul Ulama diaktifkan kembali dan pada bulan September 1943 permintaan tersebut dikabulkan.
Pada akhir Oktober 1943 Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui berdirinya wadah perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama (Majelis Syura Muslim Indonesia)  atau MASYUMI.Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI yang di bubarkan jepang.Sementara di bidang politik, selain aktif dalam Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim juga duduk sebagai pimpinan tertinggi Shumubu (kantor urusan agama) menggantikan KH. Hasyim Asy;ari. Shumubu pada awalnya dipimpin oleh kolonel Horrie yang bertugas mengawasi secara ketat organisasi – organisasi islam terutama terhadap pendidikan Islam.
Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada perintah untuk melakukan seikare (ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam rukuk dalam sholat).
KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepadaseluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan seikere karena hukumnya haram..
KH. Abdul Wahid Hasyim tidak henti – hentinya mengadakan kontak dengan para tokoh nasionalis guna mendesak Jepang segera mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan. Perjuangan mereka berhasil hingga pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, muhammad yamin, achmad Soebardjo, Abikoeseno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim AA Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut panitia sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada piagam jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Preambule atau pembubukan Undang – Undang Dasar dalam naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa pancasila menjadi dasar negara Indonesia.
Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Selain itu peran pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajahan yang merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren sehingga pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan.
NU Setelah Kemerdekaan Apabila di zaman Jepang aktifitas NU berfokus pada perjuangan membela kemerdekaan agama, bangsa secara fisik maupun politik, maka di masa revolusi (1945-1949) lebih diperhebat lagi, NU agaknya sadar betul bahwa sejarah masih dalam proses. Meski kemerdekaan telah tercapai, pertahanan dan keamanan masih harus di jaga dengan ketat. Karena itu ketika tentara sekutu (NICA) hendak mencoba kembali menggantikan kedudukan Jepang, NU segera memanggil konsul-konsulnya se-Jawa dan Madura guna menentukan sikap terhadap NICA, dan mengeluarkan resolusi yang bernama ‘Resolusi Jihad’ yang sangat penting bagi sejarah revolusi 1945 dan di pimpin langsung olah KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad ini kemudian menggema di seluruh Jawa dan Madura terutama di Surabaya. Semangat jihad malawan tentara sekutu dan NICA membara di mana-mana. Pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas Hizbullah dan Sabilillah. Suasana gegap gempita mewarnai kehidupan masyarakat yang pada dasarnya tinggal menunggu perintah, karena itu mungkin sekali resolusi jihad itu kemudian menjadi inspirasi bagi berkobarnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang di kenal sebagai ‘ Hari Pahlawan’. Selain dari pada itu, tokoh-tokoh penting NU menduduki posisi penting dalam dewan pimpinan partai Masyumi Indonesia, dan ini bisa di lihatdari nama-nama yang tercantum dalam kepemimpinan Masyumi periode pertama, yang dalam strukturnya dibedakan atas dua lembaga : Pengurus Besar dan Mejeli Syura.
Pengurus Besar di pimpin oleh Dr. Soekiman, Abi Koesno T, dan Wali al-Fatah, sedangkan Majelis Syura dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusuma, KH.A. Wahid Hasyim dan Mr. Kasman Singodimejo. Peranan itu diperkuat lagi ketika partai Masyumi mengadakan muktamar di Solo pada 10-13 Februari 1946. Dalam muktamar tersebut terjadi sedikit sekali perubahan mengenai struktur organisasi yang pada dasarnya memperkuat posisi NU dalam ‘Dewan Pimpinan Partai’. Dengan demikian peran NU bukan hanya sebagai pemegang kendali dalam Masyumi, melainkan juga menentukan arah politik partai. Barang kali karena posisi penting itulah maka pada muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946, perlu menegaskan: NU masuk sebagai anggota istimewa Masyumi. Bahkan lebih dari itu, muktamar juga menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif dalam mendukung tegaknya partai Masyumi, hingga kemudian tidak jarang dijumpai pimpinan NU di daerah merangkap sebagai pimpinan Masyumi. Selama masa perkembangan (1935-1950) NU telah melakkukan berbagai perubahan cukup berarti, baik untuk kepentingan intern NU maupun bagi kepentingan bangsa pada umumnya. Kepentingan intern, NU telah melakuakn perbaikan-perbaikan dalan bidang sosial, pendidikan maupun dakwah. Bahkan sempat pula mengembangkan sayap organisasinya dikalangan kaum muda, remaja putri maupun kaum ibu, berupa organisasi Gerakan Pemuda Anshor, Fatayat NU, dan Muslimat NU, ini berarti eksistensi NU sebagai organisasi keagamaan sosial semakin kokoh. Hingga pada masa pemerintahan Soeharto, NU masih mempunyai peranan penting dalam pemerintahan. Pada tahun 1965- 1968 terdapat dua orang NU memainkan peranan yang menentukan, yaitu Achmad Sjaihu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR) dan Subchan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS), Subchan di angkat sebagai salah seorang Wakil Ketua MPRS, mewakili kelompok Islam (1966-1971).
D.     Peran Nu Pada Masa Orde Lama
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi Islam modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan partai politik tersendiri dan ikut pemilu legislatif dan konstituante pada 1955 dengan menjadikan sebagai kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada zaman orde lama paska kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI dan Masyumi, presiden Soekarno membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI), Agama (NU), dan Komunis (PKI).Soeharto memaksa NU berfusi dengan faksi Islam lain dengan membentuk PPP paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara terbesar kedua setelah Golkar. Pembentukan PPP ini mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali ke khitah 1926.Selama 14 tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain politik bebas aktif dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah satunyamendirikan Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan. Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke kantong-kantong NU.
Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung Tasikmalaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU dengan politik, 1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis masa sarungan dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi politik baik di NU dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang mencalonkan diri wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur yang mencalonkan Gus Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur pecah dengan terbentuknya kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi Muhaimin yang akhirnya dimenangkan Muhaimin.Perpecahan PKB ini menggerus suara PKB yang turun drastis hanya mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004.
Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul, menjadi pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009.Pilkada Jatim menunjukkan “pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat memiliki perwakilan NU. Setahun kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU, yaitu faksi Gus Dur yang akan cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU struktural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun lampau bertautan dengan Mega akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK Wiranto terkait, kemudian faksi adalah pendukung SBY-Budiono dengan motor Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang berada di belakang Muhaimin saat konflik PKB.
Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan menjadi pertarungan 3 koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap dengan daerah Mataraman  yang  akan menjadi basis Politik SBY-Budi dan Mega Prabowo, sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah tapal kuda dan madura yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya akan terjadi antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY Budiono yang didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa pendukungnya. 40 juta massa NU yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi lahan pertarungan ketiga kubu. NU dengan struktur organisasi yang cair dan berbentuk federasi ulama-ulama dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron pemimpin. Setiap faksi tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU sejak 1950an masih tetap sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih massa sarungan.
Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang belajar di Timur Tengah. Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka melanjutkan pendidikannya di negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik antara pesantren dan lembaga pendidikan di Timur Tengah, selain semakin meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan orang NU, maka banyak anak muda NU yang dikirim belajar ke sana.Dalam dekade akhir, sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi strategis di dalam tubuh NU di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, maka corak pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam formal, artinya Islam harus menjadi simbol dalam segala hal, tak terkecuali simbol negara. Makanya, banyak di antara mereka yang cenderung berpikir bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah asalkan sesuai dengan tataran realitas politik masyarakat.
Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala hal.Islam mengandung ajaran syumuliyah (komprehensif) dan universal. Hubungan antara politik dan negara lebih cenderung integrated. Mereka kurang sepakat dengan adagium minyak onta cap babi, apalagi minyak babi cap onta. Sebab seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara substansi dan simbol harus sama. Di dalam studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan bahwa elite NU juga ada yang dikategorikan sebagai Elite NU Fundamentalis, selain yang Moderat dan Fragmatis.Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengandung ajaran yang syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat ditipologikan sebagai Elite NU Fundamentalis.Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi berbagai macam konsepsi yang dikembangkan oleh MUI terkait dengan pelarangan terhadap aliran sesat, liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini dianggapnya akan dapat menggerogoti terhadap keaslian Islam. Islam yang suci murni harus dijauhkan dari doktrin yang bertentangan dengannya.Islam harus tetap genuine sebagaimana sumber aslinya.
NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang mengusung moderatisme yang rahmatan lil alamin.KH Hasyim Muzadi di dalam berbagai forum mendengungkan tentang Islam dalam coraknya seperti ini.Dan NU memang diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme, i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual.Islam tidak hanya ramah terhadap sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap seluruh lingkungan.Islam sebagai mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum minoritas.Makanya harus terdapat formulasi yang tepat untuk semuanya itu.Di dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas Pancasila dan UUD 1945.
E.     Peran NU Pada Masa Orde Baru
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966) menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.  Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967.Hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH.Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu.Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.Memang begitulah yang dilakukan kongres.Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis.Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif.Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut.Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan.Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter.Begitulah kira-kira Michael Edwards.
Perjalanan NU Pada Masa Orde Baru
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya pertemuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran, baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.
Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU. Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin.
NU memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat menonjol, sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965- 66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut; tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik; massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiapperubahan.

Perkembangan NU Pada Masa Orde Baru
Perkembangan NU dimungkinkan oleh sejumlah factor yang mengurangi isolasi warga NU dari masyarakat luas. Salah satu faktor penting ialah berdirinya IAIN di setiap propinsi, yang membuka peluang bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan tinggi. Kehidupan di kampus, kelompok diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari latar belakang berbeda, bacaan yang luas, di samping mata kuliah beragam, kemudian membantu sebagian mereka untuk memperluas cakrawala sosial dan intelektual mereka. 
Faktor lain ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah LSM nasional dan internasional lainnya. Dengan demikian, pesantren sedikit demi sedikit mulai ditarik ke dalam jaringan komunikasi internasional. Gerakan LSM mulai menjadi faktor penting di panggung politik internasional pada dasawarsa 1960-an. Di Indonesia, sponsor asing mulai membidangi LSM pada dasawarsa 1970-an, dan gerakan LSM menjadi semakin menonjol pada dasawarsa 1980-an.
Dari segi jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor eksternal, tetapi khususnya sesudah Muktamar Situbondo semakin banyak orang NU sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam yang relevan. 
Proses depolitisasi pada masa Orde Baru, kebijaksanaan massa mengambang, penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas pegawai negeri, normalisasi kehidupan kampus, pemaksaan azas tunggal, membawa dampak berat juga terhadap NU. Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, NU merupakan satu-satunya ormas yang mempunyai akses ke akar rumput dan sekaligus aktif sebagai organisasi politik. Karena dukungan massanya, NU selama itu merupakan kekuatan politik terbesar di luar pemerintah, dan dianggap satu-satunya oposisi yang perlu diperhitungkan. Di Situbondo kekuatan politik itu dikorbankan dengan harapan akan dapat menjalin kembali hubungan mesra antara NU dan pemerintah di pusat maupun daerah. Orang boleh bertanya apakah harga depolitisasi tersebut tidak terlalu mahal. Tetapi perkembangan pemikiran dan kegiatan sosial yang menjadi begitu menonjol pada limabelas tahun berikutnya, kelihatannya, tidak akan mungkin terjadi seandainya tidak ada keputusan Situbondo.
Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
F.     Peranan NU Pada Masa Reformasi
Presiden NU pertama lahir di era ini, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang tokoh NU yang kontroversial (baca: pola pikirnya sulit dipahami dan sering “nyleneh”). Dua presiden yang disegani oleh Amerika adalah Bung Karno dan Gus Dur (red).NU dari tingkatan pusat hingga daerah semakin tertata dalam “penggodogan” kader-kadernya untuk berkiprah membangun bangsa, namun masih kurangnya respon distribusi kader (baca: mainstream penokohan) sehingga sedikit terhambat dalam beberapa hal teknis dan kurang merata. Oleh karenanya mari kita sebagai jam’iyah NU kembali merealisasikan cita-cita luhur dalam pengembangan keagamaan dan kebangsaan. Memulai dari hal kecil untuk gerakan yang lebih besar, dari NU untuk Indonesia.
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1.      Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2.      Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.      Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.      Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5.      Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6.      TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7.      Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
8.      Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.      Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2.      Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3.      Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4.      Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5.      Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6.      Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7.      Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8.      Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
G.    Peran NU Pada Masa Pasca Reformasi
Dengan tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU.Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.    
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
NU sebagai oraganisasi masyarakat terbesar di Indonesia telah memainkan peranan yang penting dalam kemerdekaan dan perkembangan bangsa dan agama. Sebagai oraganisasi yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah Islamiyah, NU telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan. Semangat NU zaman dahulu hingga sekarang semestinya harus tetap tumbuh, sehingga dapat terus mewujudkan apa yang telah di cita-citakan oleh sang pendiri KH. Hasyim Asy’ari, sehingga mampu melahirkan tokoh-tokoh bagi perubahan bangsa yang lebih baik, jika pada zaman dahulu beliau mampu ‘menelurkan’ 25000 kyai, maka bukanlah hal yang sulit bagi NU sekarang untuk melahirkan cedekiawan-cendekiawan muslim yang mampu membawa agama dan bangsa ini untuk menjadi lebih baik.
1.      Keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam mewujudkan Indonesia merdeka keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Nahdlatul Ulama menganggap bahwa kewajiban berbangsa dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final.
2.      Sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama terhadap penjajah terbaca dari perjalanannya yang kemudian disebut sikap non cooperation, yaitu sikap menentang atau tidak mau bekerja sama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan penjajah yang merugikan atau bahkan mengancam bangsa, terutama umat Islam.
3.      Peran yang diperlihatkan Nahdlatul Ulama baik pada masa penjajah Belanda maupun Jepang, menunjukkan suatu bukti bahwa Nahdlatul Ulama mempunyai nasionalisme yang tinggi, karena menyadari sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
4.      Nahdlatul Ulama juga turut berperan dalam membentuk dasar Negara melalui keikutsertaan KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai salah satu anggota panitia sembilan yang merumuskan undang-undang dasar.
DAFTAR PUSTAKA
http://aiirm59.blogspot.co.id/2012/07/makalah-sejarah-nahdlatul-ulama.html
http://aswajanu86.blogspot.com/2015/09/peranan-nahdlatul-ulama-dalam-bidang.html
http://agusmr220.blogspot.com/2013/12/peran-nu-dalam-kehidupan-berbangsa-dan.html
http://emonzdoank.blogspot.co.id/2012/03/peranan-nahdlatul-ulama-dalam.html

1 komentar:

  1. BetMGM opens new online sports betting site, BetMGM casino
    MGM Resorts International has opened its sports 동해 출장샵 betting operation 안양 출장마사지 BetMGM 밀양 출장마사지 Casino, a 이천 출장샵 sportsbook and casino in Las Vegas. 목포 출장안마

    BalasHapus